Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polri menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran Pemilu berupa penambahan jumlah pemilih di Kuala Lumpur, Malaysia.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan penetapan status tersangka ini berdasarkan gelar perkara yang dilakukan pada 28 Februari 2024.
"Menambah jumlah yang sudah ditetapkan ditambah lagi jumlah (tersangka). (Per hari ini) 7 tersangka," kata Djuhandani Rahardjo Puro dalam keterangannya, Kamis (29/2/2024).
Para tersangka dijerat dengan Pasal 545 dan/atau Pasal 544 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Baca juga: Bareskrim Telusuri Dugaan Penambahan Jumlah Pemilih di Kuala Lumpur
"Terjadi di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia dalam kurun waktu sekitar tanggal 21 Juni 2023 sampai dengan sekarang," jelasnya.
Adapun, kata Djuhandani, enam orang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana Pemilu berupa dengan sengaja menambah atau mengurangi daftar pemilih dalam Pemilu setelah ditetapkannya daftar pemilih tetap dan/atau dengan sengaja memalsukan data dan daftar pemilih.
Sementara satu orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana Pemilu dengan sengaja memalsukan data dan daftar pemilih.
Baca juga: KPU Hentikan Sementara Penghitungan Suara Metode Pos dan Kotak Suara Keliling di Kuala Lumpur
Sebelumnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menonaktifkan 7 anggota panitia pemilihan luar negeri (PPLN) Kuala Lumpur, Malaysia.
Pemberhentian sementara ini merupakan salah satu langkah KPU dalam hal melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di Kuala Lumpur, Malaysia.
"Kami sudah menonaktifkan atau memberhentikan sementara tujuh anggota PPLN, karena kan ada problem dalam tata kelola pemilu di Kuala Lumpur," kata Anggota KPU RI Hasyim Asyari di kantornya, Senin (26/2/2024).
Tugas PPLN Kuala Lumpur kini diambil oleh KPU RI dengan didukung oleh tim sekretariat jenderal.
Kemudian KPU RI juga bakal berkoordinasi dengan kantor perwakilan mereka di Kuala Lumpur.
Dalam hal melakukan koordinasi itu, KPU juga sudah melakukan rapat dengan Kementerian Luar Negeri untuk bagian dukungan atau fasilitas bagi KPU melakukan pelayanan pemilihan di luar negeri.
Sebagai informasi, KPU RI bakal melakukan PSU di Malaysia dengan meniadakan metode pos.
Berarti dalam prosesnya, PSU di Malaysia hanya menggunakan dua metode, yakni pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS) dan metode kotak suara keliling (KSK).
Peniadaan metode pos ini sejalan dengan saran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kepada KPU. KPU berharap pihaknya dapat menyelesaikan PSU tepat waktu sebelum batas akhir rekap nasional dan penetapan hasil pemilu nasional pada 20 Maret.
KPU dan Bawaslu sebelumnya sepakat tak menghitung suara pemilih pos dan KSK di Kuala Lumpur karena integritas daftar pemilih dan akan melakukan pemutakhiran ulang daftar pemilih.
Dalam proses pencocokan dan penelitian (coklit) oleh Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (PPLN) Kuala Lumpur pada 2023 lalu, Bawaslu menemukan hanya sekitar 12 persen pemilih yang dicoklit dari total sekitar 490.000 orang dalam Data Penduduk Potensial Pemilih (DP4) dari Kementerian Luar Negeri yang perlu dicoklit.
Bawaslu juga menemukan panitia pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) fiktif hingga 18 orang.
Akibatnya, pada hari pemungutan suara, jumlah daftar pemilih khusus (DPK) membludak hingga sekitar 50 persen di Kuala Lumpur.
Pemilih DPK adalah mereka yang tidak masuk daftar pemilih.
Ini menunjukkan, proses pemutakhiran daftar pemilih di Kuala Lumpur bermasalah.
Bawaslu bahkan menyampaikan, ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seyogianya dikirim untuk pemilih via pos.
Bawaslu juga mengaku sedang menelusuri dugaan perdagangan surat suara di Malaysia.