Sementara Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menyinggung pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 90/PUU-XX/2023 perihal batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden.
Kata Petrus, hakim yang berperan besar dalam putusan 90 adalah Anwar Usman.
Paman dari Gibran Rakabuming Raka itu sengaja memengaruhi hakim konstitusi lainnya untuk setuju dengan perkara 90 agar batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden mengandung frasa selama menjabat atau pernah menjabat kepala daerah.
Hal itu yang akhirnya menguntungkan Gibran.
Putusan perkara nomor 90 itu pun dianggap Petrus janggal.
Pasalnya ada 5 perkara sejenis yang diajukan oleh berbagai pihak dan diputus di hari yang sama.
Baca juga: Pengamat Jelaskan 2 Faktor Prabowo dan Megawati Tak Kunjung Bertemu Usai Pilpres
Ketika 4 perkara awal ditolak, perkara nomor 90 justru dikabulkan.
Padahal rentang waktu antara putusan perkara sebelumnya dengan pembacaan putusan perkara 90 hanya berselang 1 jam.
“Perkara nomor 90 itu sendiri adalah satu diantara 5 perkara yang diajukan dengan substansi yang sama, pasal UUD 1945 nya sama, pasal di UU Pemilu nya juga sama, Pasal 169 huruf i,” katanya.
“Tapi di hari yang sama, 4 perkara lain ditolak, tapi perkara 90 itu dikabulkan,” lanjut Petrus.
Ia juga mempertanyakan mengapa permasalahan proses putusan perkara nomor 90 tidak digali maksimal oleh kubu paslon 01 dan 03 dalam persidangan di MK, padahal hal itu dituangkan dalam permohonan kedua kubu.
“Jadi apa sebab dosa perkara 90 tidak digali secara maksimal dalam persidangan,” tanya Petrus.