Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aturan larangan kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) di perguruan tinggi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan terhadap Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada itu dimohonkan oleh dua mahasiswa, yakni Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria. Permohonan diterima MK, pada Jumat, 31 Mei 2024.
Pasal a quo melarang kampanye dilakukan di tempat ibadah dan tempat pendidikan.
Adapun Pemohon meminta kampanye di tempat pendidikan diperbolehkan, dengan catatan hanya untuk perguruan tinggi.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan, bahwa pengaturan izin menyelenggarakan kampanye di perguruan tinggi harus koheren antara rezim pemilu dan rezim pilkada.
Sebagaimana diketahui, dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 dan 128/PUU-XXI/2023, Mahkamah mengizinkan peserta pemilu untuk datang ke perguruan tinggi, dengan syarat tanpa adanya atribut kampanye dan harus mendapatkan izin dari penanggung jawab.
Baca juga: Pasang Badan, Airlangga Yakinkan Jokowi Tak Cawe-cawe Pilkada
Adapun Putusan 65 itu menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi, “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.
Kemudian, melalui Putusan 128 itu, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan, kampanye di tempat pendidikan itu tepat jika ditujukan untuk peserta didik di jenjang perguruan tinggi.
Hal itu dikarenakan, menurut Mahkamah, karena selain merupakan sumber potensial dari keberadaan pemilih pemula, perguruan tinggi itu merupakan simbol pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban, tempat terkonsentrasinya orang-orang terdidik dan terpelajar, dan juga merupakan pusat energi serta kemampuan melakukan langkah pencegahan yang antisipatif terhadap paham radikal dan intoleran.
Saat dihubungi Tribunnews.com, Sandy selaku Pemohon I menilai, praktik kampanye di Pemilu 2024 berdampak positif bagi para pemilih pemula.
"Karena di Pemilu 2024 sendiri, ini (kampanye di perguruan tinggi) itu berdampak positif bagi para pemilih pemula, khususnya kami mahasiswa," ucap Sandy, Kamis (20/6/2024).
Menurutnya, hampir keseluruhan capres-cawapres di Pilpres 2024 datang ke kampus untuk menawarkan visi, misi, dan gagasannya.
Begitu juga dengan beberapa calon legislatif yang datang ke kampus untuk memenuhi tantangan mahasiswa yang ingin menguji gagasannya.
"Ini yang ingin kami capai juga dalam pilkada," ungkap Sandy.
Dengan demikian, petitum permohonannya berbunyi, "Menyatakan Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) sepanjang frasa “tempat pendidikan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “mengecualikan Perguruan Tinggi atau penyebutan serupa sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.”
Lebih lanjut, Sandy mengatakan, pihaknya mengajukan permohonan provisi, yang isinya meminta permohonan ini untuk diperiksa dan diputus MK sebelum dimulainya tahapan kampanye Pilkada 2024.
Sesuai Peraturan KPU 2/2024, tahapan kampanye Pilkada dimulai pada 25 September - 23 November 2024.
"Kami berharap permohonan kami dikabulkan sebelum tanggal 25 September, sehingga kami mahasiswa dan teman-teman mahasiswa yang lain di seluruh Indonesia bisa menyiapkan acara adu gagasan. Diskusi panel kah bentuknya, debat kah bentuknya, atau forum-forum apa bentuknya terserah saja, supaya mereka bisa menguji calon-calon pemimpin mereka," ucap Sandy.