TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ramai di media sosial warga Jakarta mengeluhkan KTP-nya dicatut untuk menjadi pendukung calon independen di Pilkada Jakarta 2024 Dharma Pongrekun dan Kun Wardana.
Bahkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) seorang wanita yang sudah meninggal dunia diduga digunakan untuk memenuhi dukungan bakal calon Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Dalam sebuah foto yang diterima Tribun, tangkap layar dari situs info pemilu KPU mencamtumkan nama yang identik dengan gambar sebuah nisan yang terpasang di atas makam.
Selain nama terdapat juga tempat lahir yang sama.
Tapi Tribun belum mendapatkan konfirmasi soal kebenaran unggahan foto yang beredar di media sosial tersebut.
Tak cuma itu, Peni, warga Palmerah Jakarta Barat mengeluhkan NIK milik keluarganya dipakai mendukung Dharma Pongrekun dan Kun Wardana.
Padahal, Peni merasa tidak pernah memeberikan foto kopi identitas dirinya maupun keluarga ke pendukung Bacagub dan Cawagub DKI.
Ia juga tidak megenal Bacagub tersebut karena namanya asing di telinganya.
"Iya kata anak saya dipakai datanya, saya cek ternyata suami dan anak saya juga dipakai. Kalau anak bontot kan belum punya KTP," jelasnya, Jumat (16/8/2024).
Peni bingung ingin melaporkan hal ini ke mana karena takut NIK disalahgunakan oleh orang lain.
Ia berharap, KPU RI dan Bawaslu bisa segera menjawab keluhan warga yang mengalami hal sama dengannya.
"Saya jadi takut mau lapor ke mana ya kira-kira," ucapnya dengan tangan gemetar.
Peni medapat isu yang beredar, adanya dugaan permainan dari Ketua RT atau RW yang menjual data warga untuk bisa maju di Pilkada DKI.
Meski begitu, ia masih menunggu kabar dari instansi resmi atas penyalahgunaan KTP warga Jakarta di Pilkada DKI.
"Saya bingung, kira-kira aman enggak ya?," tanyanya.
Belum bertanding sudah curang
Keluhan serupa juga diungkapkan Nadia. Dia merasa aneh dirinya tidak pernah dimintai untuk mendukung paslon tertentu.
Ia merasa tidak senang data dirinya disalahgunakam oleh orang tidak bertanggung jawab di Pilkada serentak 2024.
"Ini bukti kalau ada kecurangan. Belum bertanding saja sudah curang," kata warga Kecamatan Jagakarsa itu saat dihubungi, Jumat.
KTP anak Anies Baswedan juga didaftarkan
Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan NIK KTP kedua anaknya dicatut dalam Pilkada Jakarta 2024.
Anies mengatakan KTP anaknya digunakan tanpa izin mendukung bakal calon pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dari jalur perseorangan.
Keterangan tersebut disampaikan Anies Baswedan melalui aku X (Twitter) miliknya pada Jumat (16/8/2024).
Anies mengunggah tangkapan layar hasil pengecekan NIK KTP milik kedua anaknya atas nama Mikail Azizi Baswedan dan Kaisar Hakam Baswedan.
"Alhamdulillah, KTP saya aman," kata Anies.
"Tapi KTP dua anak, adik, juga sebagian tim yang bekerja bersama ikut dicatut masuk daftar pendukung calon independen. :)," tulis Anies.
Diberitakan sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi DKI Jakarta mendorong warga Jakarta yang namanya dicatut agar membuat laporan secara resmi.
Bawaslu angkat bicara
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta Benny Sabdo mengatakan, KPU DKI Jakarta telah menetapkan verifikasi persyaratan dukungan minimal untuk Cagub dan Cawagub independen pada Kamis (15/8/2024) malam.
Pasangan Dharma-Kun dinyatakan telah memenuhi syarat minimal dukungan minimal 618.968 fotokopi KTP elektronik.
“Sejak awal tadi sampai pagi ini banyak sekali yang mengadu, kepada Bawaslu, setidak-tidaknya melalui jalur pribadi. Ini sampai wartawan yang namanya dicatut, yang soal verifikasi faktual calon gubernur independen. Ini terakhir saya dapat (pesan) WA (WhatsApp) dari Dewan Pers dicatut juga. Wah ini kan kita harus responsif,” kata Benny.
Hal itu dikatakan Benny saat Rapat Kerja Teknis Penanganan Pelanggaran dengan Bawaslu Kabupaten/Kota pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (16/8/2024) siang.
Dalam sambutannya, Benny kembali mengajak masyarakat yang merasa namanya dicatut padahal tidak memberikan dukungan, agar segera melaporkan hal ini kepada Bawaslu DKI Jakarta.
“Kepada jajaran di bawah juga, jadi di tingkat kota ya, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Pulau Seribu kalau ada yang mengadukan atau melaporkan secara resmi silakan ditindaklanjuti, kami tunggu ya dan petugas kami akan melayani dengan baik,” jelasnya.
Benny juga menekankan kepada anggota Bawaslu dari tingkat Kabupaten/Kota hingga kecamatan agar tidak mengabaikan laporan masyarakat.
Sebagai pengawas Pemilu, Bawaslu memiliki tugas mulai dalam menjamin kelancaran proses Pemilu tersebut.
“Jangan sampai keberadaan kita tidak terasa atau terasa hampa di tengah-tengah masyarakat. Padahal kita ada untuk mengawasi seluruh tahapan Pilkada ini, karena itu kita sebagai pengawas mesti bekerja keras mengasah kompetensi dan juga responsif dalam bekerja,” ucapnya.
“Mari kita jadikan seluruh dedikasi kita ini sebagai sejarah dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2024 mendatang pada 27 November. Supaya apa? Supaya Pilkada di DKI Jakarta ini berjalan dengan luber, dengan jurdil, dan Bawaslu menjadi lembaga terpercaya dan dapat diandalkan oleh rakyat,” pungkasnya.
Bisa masuk tindak pidana
Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum UI Titi Anggraini menjelaskan pencatutan NIK untuk mendukung pencalonan pasangan independen di Pilkada merupakan tindak pidana.
Titi mengungkapkan maraknya dugaan dan juga keluhan terkait pencatutan data warga khususnya di Jakarta, harus direspon cepat Bawaslu.
Baca juga: Dugaan Pencatutan NIK, Bawaslu DKI Minta Masyarakat Lengkapi Syarat Formil dan Materiil Pelaporan
"Dalam Undang-Undang Pilkada pada pasal 185 dan pasal 186 disebutkan penggunaan keterangan yang tidak benar. Atau dukungan palsu terhadap pencalonan perseorangan merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maksimal 36 bulan dan denda maksimal Rp 36 juta," kata Titi, Jumat (16/8/2024).
Selain itu, kata Titi, penyelenggara pemilihan baik PPK, PPS, dan KPU yang tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi atas syarat dukungan calon perseorangan pun bisa dipidana.
"Juga merupakan tindak pidana yang diancam pidana penjara maksimal 72 bulan dan denda maksimal Rp 72 juta," jelasnya.
Kemudian dikatakan Titi atas indikasi dan temuan awal dugaan kecurangan tersebut, Bawaslu tidak perlu menunggu karena patut diduga kuat merupakan pelanggaran Pilkada dan merupakan tindak pidana pemilihan.
"Bagi mereka yang namanya atau datanya dicatut diharapkan untuk mau atau bersedia melaporkannya ke Bawaslu. Sehingga bisa diproses hukum dan bisa memberikan efek jera kepada mereka yang melakukan pencatutan atau pelanggaran," tegasnya. (*)