Bahkan beberapa massa ada yang terluka hingga bercak darah terlihat di beberapa titik.
Jendral lapangan aksi, Misbahuddin, mengatakan, pihaknya geruduk kantor DPRD Majene lantaran anggota DPRD Majene tidak ingin menemui massa.
"Aksi ini akan kembali dilakukan jika tuntutan yang dilayangkan tidak ditandatangani oleh pihak DPRD Majene,"kata Misbahuddin saat ditemui Tribun Sulbar.com si lokasi
Ia juga menambahkan aksi tersebut akan kembali dilakukan sampai DPRD Majene menandatangani berkas tuntutanya.
"Kami akan melakukan aksi jilid dua sampai permintaan kami dipenuhi,"lanjutnya.
Mataram
TribunLombok.com memberitakan, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Hj Isvie Rupaeda, akhirnya menemui pengunjuk rasa yang sejak pagi menggelar aksi demontrasi di depan DPRD Provinsi NTB, Jumat (23/8/2024).
Isvie berdialog dengan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Mataram Lalu Aldiara Elang Sakti, selaku perwakilan dari pengunjuk rasa dari aliansi Cipayung Plus.
Dalam dialog tersebut Aldiara menyampaikan beberapa hal terkait unjuk rasa kali ini, terutama berkaitan dengan keinginan para pengunjuk rasa yang ingin menyampaikan tuntutan di dalam kantor DPRD Provinsi NTB.
"Kami pastikan kawan-kawan didalam tidak akan ada saling gesek, semua aman," kata Aldiara mencoba menyakinkan politisi Partai Golkar itu.
Namun Isvie yang menggunakan baru bercorak bintik-bintik coklat menolak keinginan dari para pengunjuk rasa. Alasannya, sesuai dengan standar operasional prosedur tidak diperbolehkan menerima pengunjuk rasa didalam kantor.
"Seluruh kantor dan apapun sekarang tidak diperbolehkan menerima demo di dalam," kata Isvie.
Setelah menyampaikan itu, Isvie langsung meninggalkan pengunjuk rasa. Sontak para pengunjuk rasa meneriaki Isvie yang berjalan masuk meninggalkan para pendemo.
Tak berselang lama aparat kepolisian yang sudah menghimbau para pengunjuk rasa untuk segera membubarkan diri, sudah bersiap-siap untuk membubarkan paksa mereka lantaran himbauan tersebut tidak diindahkan.
Saat pembubaran paksa tersebut sempat terjadi kericuhan yang membuat polisi terpaksa menembakkan gas air mata dan water cannon. Bahkan sejumlah mahasiswa diamankan oleh pihak kepolisian.
Sementara mahasiswa yang lainnya berhamburan menyelamatkan diri ke Islamic Center NTB.
Sebelumnya Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Mataram Herianto mengatakan, aksi unjuk rasa kali ini merupakan penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada.
Bahkan dia mengatakan, untuk memastikan bahwa RUU Pilkada tersebut benar-benar dibatalkan. Mereka akan mengawal hingga selesai pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kita mau kawal sampai putusan MK ini tuntas, sampai pendaftaran Pilkada 27 Agustus," katanya.
Penyebab Unjuk Rasa
Sebelumnya rencana pengesahan revisi UU Pilkada mendapat protes luas dari masyarakat. Unjukrasa terjadi di sejumlah wilayah, yang beberapa diantaranya berakhir anarkis.
DPR kemudian membatalkan rencana pengesahan revisi UU Pilkada yang tadinya akan dilakukan melalui rapat paripurna.
Protes masyarakat terhadap revisi UU Pilkada tersebut bukan tanpa alasan.
Revisi UU Pilkada dinilai membegal putus MK soal persyaratan pencalonan Pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PPU-XXII/2024.
Putusan MK yang dimaksud yakni ambang batas pencalonan di Pilkada oleh Parpol dari yang sebelumnya 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah menjadi disesuaikan dengan jumlah penduduk.
Partai partai yang tidak memiliki kursi di parlemen bisa mencalonkan kepala daerah asalkan memenuhi persentase dalam rentang 6,5 persen hingga 10 persen yang disesuaikan dengan jumlah daftar pemilih tetap di masing masing wilayah.
Selain itu putusan MK yang dibegal tersebut yakni soal batas usia paling rendah calon kepala daerah untuk gubernur 30 tahun dan untuk bupati/wali kota adalah 25 tahun.
MK memutuskan bahwa batas usia tersebut saat penetapan calon bukan pelantikan.
Dua persyaratan pencalonan kepala daerah dari MK tersebut dibegal DPR RI melalui revisi UU Pilkada yang dikebut.
Dalam waktu singkat Baleg menyepakati bahwa syarat ambang batas pencalonan yakni 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD.
Sementara itu Parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD mengikuti putusan MK yakni disesuaikan dengan jumlah DPT di masing masing wilayah.
Revisi UU Pilkada juga memutuskan batas usia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati atau Walikota ditentukan saat pelantikan bukan penetapan.
(Tribunnews.com/Chrysnha)