TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA—Berkaca pada Pilpres dan Pileg 2024, hoaks politik akan merebak menjelang pemungutan suara dalam pilkada serentak, 27 November 2024.
“Jika mulai ada hoaks soal komunis, hasutan kebencian berbasis agama, etnis, suku, afiliasi lain, itu tanda pemilu atau pilkada sudah dekat,” ujar Ketua Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho dalam acara Indonesia Fact Checking Summit (IFCS) 2024 di Jakarta, Kamis (7/11/2024).
Berdasarkan pantauan hoaks pada semester I 2024. Jumlah hoaks pada semester I 2024 mencapai 2.119.
Jumlah ini hampir menyentuh total temuan hoaks sepanjang tahun 2023 yang mencapai 2.330. Dari jumlah tersebut (semester I 2024), sebesar 31,6 persen merupakan hoaks terkait pemilu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa saat pesta politik besar seperti ini, hoaks menjadi alat untuk memengaruhi opini publik. Pascapilpres, perhatian orang ke pilkada. Ketika politik di daerah mulai menghangat, hoaks politik juga tetap ada.
Pada Maret 2024, hoaks yang ditemukan mencapai 394, April 328, Mei 412, dan Juni 296 kasus.
Baca juga: Kapolri Sebut Hoaks Jadi Ancaman Tertinggi di Pelaksanaan Pilkada 2024
Hal ini menandakan hoaks tetap ada walau pilpres telah selesai. Pemungutan suara 27 November makin dekat.
“Seluruh elemen Bangsa Indonesia berharap Pilkada kali ini berlangsung secara transparan, adil, dan dapat dipercaya, juga tanpa hoaks,” ujar Septiaji Eko Nugroho.
Namun faktanya, hoaks di Indonesia sebagian beralih ke hoaks pilkada. “Hoaksnya bersifat lokal, menyasar ke kandidat maupun penyelenggara pemilu,” imbuh Septiaji yang akrab disapa Zek.
Berdasarkan analisis terhadap hoaks pada semester I 2024, hoaks lebih banyak menyasar kandidat 35,1%; Pemerintah pusat 20,9%; KPU 8,9%; Tokoh politik 5,6%; Warga 5,2%, dan lainnya di bawah 5,0%.
“Hoaks merusak atau menaikkan citra kandidat. Hoaks juga mendelegitimasi pemilu,” ujar Zek. Karena itu, Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo),
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) yang tergabung dalam Koalisi Cek Fakta secara konsisten melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya verifikasi informasi.
Menjelang Pilkada 2024, berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan di berbagai kota di Indonesia seperti diskusi terpumpun, pelatihan melawan gangguan informasi pemilu, hingga kampanye cek fakta baik online maupun offline. Acara tersebut melibatkan ribuan peserta dari berbagai latar belakang, mulai dari jurnalis, pemeriksa fakta, CSO, komunitas, hingga masyarakat umum.
Meskipun begitu, upaya yang dilakukan oleh Koalisi Cek Fakta ini masih menghadapi tantangan besar.
Penyebaran hoaks yang masif dan sistematis tidak bisa dihentikan hanya oleh segelintir organisasi. Perlu adanya kolaborasi yang lebih luas dari berbagai pihak, seperti pemerintah, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga media massa. Semua pihak memiliki peran strategis dalam menyebarkan kebenaran dan melawan disinformasi yang berpotensi merusak proses demokrasi.
Koalisi Cek Fakta menjadikan Indonesia Fact-Checking Summit (IFCS) 2024 sebagai event kolaborasi berbagai elemen.
“Dengan berkolaborasi, kita akan lebih kuat dalam melawan hoaks, terutama menjelang Pilkada 2024,” ujar Program Manager Cek Fakta dari Mafindo, Puji F. Susanti.
Forum ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan untuk berdiskusi, merumuskan strategi, serta memperkuat kerja sama dalam menekan persebaran hoaks.
Dalam acara di Hotel Lumire Jakarta, Rabu (7/10/2024), sejumlah topik dibahas dari mulai hoaks berbasis artificial intelligence (AI), strategi dan mitigasi menghadapi gangguan informasi, hingga kerja sama antara CSO dan pemerintah. Dalam acara yang disiarkan langsung melalui zoom dan akun Youtube Mafindo, Koalisi Cek Fakta bersama elemen masyarakat dan pemerintah (pentahelik) melakukan Penandatanganan Bersama dan Deklarasi Pencegahan Gangguan Informasi Jelang Pilkada 2024.
IFCS 2024 kali ini dibuka dengan keynote speech oleh Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja yang menyampaikan, cek fakta merupakan pilar utama membangun peradaban bermartabat serta menciptakan kontestasi politik dalam demokrasi menjadi berkualitas dan berintegritas terhindar dari berita hoaks maupun ujaran kebencian.
Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan harus disuguhi pendidikan politik yang bertanggungjawab. Sehingga dalam menentukan pilihannya dalam Pilkada dilandaskan pada kebenaran pengetahuan dan informasi akurat tentang figur kandidat, visi-misi serta program kebijakan masing-masing pasang calon”
Kemudian dilanjutkan dengan diskusi panel pertama bertema Strategi menjaga Demokrasi dalam Rangka Mengatasi Gangguan Informasi Menjelang Pilkada di Ruang Digital.
Yos Kusuma dari Google News Partnerships menyampaikan, Google memahami bahwa menanggulangi misinformasi merupakan tanggung jawab bersama, terutama selama proses demokrasi yang krusial seperti pemilu.
Melalui kemitraan kami dengan CekFakta, kami bekerja sama erat dengan jaringan jurnalis dan organisasi berita Indonesia yang luas untuk memeriksa fakta klaim, membantah narasi palsu, dan mempromosikan literasi informasi di seluruh negeri.
Sementara itu Adi Marsiela selaku koordinator Cek Fakta mengatakan, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak memiliki tantangan tersendiri bagi pemeriksa fakta.
Selain belum pernah ada pemilihan serentak dengan skala seperti ini, potensi penyebaran informasi bohong bisa jadi hanya berputar di wilayah masing-masing. Koalisi CekFakta, yang di dalamnya ada setidaknya 103 media dari berbagai wilayah di Indonesia, berupaya mengatasi hal ini dengan melakukan pemantauan terkait penyebaran informasi bohong tersebut.
Kolaborasi dengan penyelenggara pemilihan umum seperti Badan Pengawas Pemilu untuk bantu menyebarkan konten hasil periksa fakta, merupakan salah satu upaya mengurangi sebaran informasi bohong dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak kali ini.”
Selain Google dan Cek Fakta, diskusi semakin semarak karena hadir pula August Mellaz (anggota KPU), Khoirun Nisa Agustyati (Perludem), dan Marroli Jeni Indarto selaku Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Komunikasi dan Digital.
Talkshow 2 bertema Strengthening Regional Fact Checking Network disampaikan dalam bahasa inggris karena melibatkan Lembaga periksa fakta dari Malaysia (Jom Check), Prof Madya Dr. Sabariah Mohamed Salleh; Supinya Klangnarong dari Lembaga periksa fakta Thailand, Cofact; dan Celine Samson dari Lembaga periksa fakta Filipina, VERA Files. Serta ada
pula perwakilan platform digital, Kepala Kebijakan Misinformasi Asia Pasifik Meta, Alice Budisatrijo, dan Septiaji Eko Nugroho ketua presidium Mafindo. “We have seen candidates around the region follow each other’s election playbooks. Regional collaborations and conversations like this are important to have, if we want to get ahead of tactics to misinforms the electorate in the upcoming polls,” ujar Celine memastikan perlunya kerja sama dan diskusi untuk memperkuat jejaring dalam memberantas hoaks.
Jejaring Mitra Koalisi juga turut mempresentasikan isu terkini terkait gangguan informasi pada sesi Lightning Talk. Beberapa narasumber diantaranya Lucky Susanto (Monash University); Agus Triyono (Mafindo); Patricia Larasgita (CSIS); Bayu Galih (Kompas); Geger Riyanto (Peneliti Riset Homeless Media Remotivi); dan Fijar Hafiizh (Puskujar Kemendikbud).
Bersamaan dengan itu di ruang lain juga terselenggara diskusi kelas (break out room) dengan tema Deteksi, Penanganan, dan Pelaporan Disinformasi Pilkada 2024 dan diskusi kelas lainnya bertema Tantangan Menghadapi Disinformasi AI Jelang Pilkada 2024.
Acara itu dihadiri berbagai elemen masyarakat; akademisi, jurnalis, komunitas perempuan, organisasi lintas sektor, peneliti, dan lembaga pemangku kepentingan yang tanggap dan peduli pada demokrasi dan isu penanganan gangguan informasi. Acara ditutup dengan pidato dari PBNU sebagai pamungkas yang menekankan betapa pentingnya peran masyarakat sipil dalam melawan gangguan informasi jelang pilkada.