Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Desain pemilu dan pilkada yang rumit secara prosedural serta substantif dinilai bermasalah sebab penyusunan desain itu tidak memperhatikan aspek kohesivitas atau sosial budaya masyarakat ada.
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2024 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), desain rumit itu berimplikasi pada menguatkanya pragmatisme dan politik transaksional.
Baca juga: Catatan AMAN: Hanya 17 dari 545 Daerah yang Angkat Isu Masyarakat Adat saat Debat Pilkada 2024
”Banyak akademisi menyatakan bahwa pemilu dan pilkada pada tahun 2024 adalah kontestasi yang paling brutal,” kata Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi dalam peluncuran buku Catatan Akhir Tahun 2024 AMAN di Kedai Tjikini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2024).
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal: tarik ulur desain pemilu, meningkatnya politik uang, intimidasi dan diskriminasi, serta inflasi ekonomi pasca-Covid-19.
Sehingga kemudian berdampak pada menurunnya partisipasi politik masyarakat adat.
Berdasarkan catatan AMAN, terdapat 32 orang kader utusan politik masyarakat adat yang diutus secara resmi melalui mekanisme organisasi untuk mengikuti kontestasi lima tahunan ini.
Tiga orang di antaranya berhasil terpilih dan telah dilantik menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota. Kemudian, 1 orang utusan politik dinyatakan terpilih dan telah dilantik sebagai anggota DPRD Provinsi Papua setelah melalui gugatan perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Selain empat kader tersebut, terdapat juga lima kader AMAN yang maju dan berhasil terpilih tanpa melalui mekanisme organisasi.
“Secara kuantitas menurun jika dibandingkan pada Pemilu 2019 lalu, ketika itu terdapat 163 kader yang berasal dari beragam partai politik yang maju berkontestasi untuk menjadi anggota parlemen di berbagai tingkatan, 32 orang berhasil terpilih” jelas Rukka.
Baca juga: Tok! Indonesia Setujui Pembentukan Badan Permanen Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal Tingkat Dunia
Berbagai catatan partisipasi politik masyarakat adat dalam pemilu dan pilkada tahun 2024 menunjukkan ihwal arena politik yang didasarkan pada tatanan politik modern hanya diperuntukkan bagi para elit politik, partai politik hingga birokrasi.
Serta menutup peluang bagi partisipasi politik masyarakat adat yang hidup di pelosok nusantara yang hampir seluruhnya berada jauh dari pusat-pusat kekuasaan politik.
”Dengan kondisi seperti ini, tidak heran bila masyarakat adat mengalami derita pahit pengabaian yang selama ini dihadapi,” pungkas Rukka.