TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri mengaku mendengar banyak laporan dugaan lembaga negara tak netral dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024.
Hal ini disampaikan Megawati melalui tayangan video di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Rabu (20/1/2024).
Megawati menegaskan, Indonesia adalah bangsa besar yang menjunjung tinggi kehormatan, martabat, dan harga diri.
Dia mengaku menerima laporan lembaga negara memaksakan rakyat untuk memilih pasangan calon tertentu di Pilkada.
Baca juga: Waspadai Potensi Kecurangan di Jateng, Generasi Muda Didorong Ikut Kawal Pelaksanaan Pilkada 2024
"Saya mendengar begitu banyak laporan terhadap institusi negara yang tidak netral," kata Megawati.
Menurutnya, mereka mengimingi rakyat dengan bantuan berupa sembako hingga uang.
"Mereka memaksakan pasangan calon tertentu dengan berbagai intimidasi dan sekaligus iming-iming sembako gratis bahkan uang. Itu semua adalah bagian dari money politics," ujar Megawati.
Megawati mengajak seluruh masyarakat untuk belajar pada rakyat Ghana, sebuah negara di Afrika Barat yang menolak berbagai rayu kekuasaan.
"Bahkan ketika ada yang mencoba menyuap rakyat dengan sembako gratis, mereka berani menolak dan mengatakan yang kami perlukan adalah pendidikan dan sistem kesehatan yang lebih baik serta pekerjaan," ucapnya.
Karenanya, dia juga mengajak agar mewujudkan Pilkada yang jujur, adil, dan demokratis.
"Ingat, mencoblos hanya lima menit, namun dampaknya bisa selama lima tahun. Pilihlah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan bijak. Pilih yang terbaik, pilihlah yang mampu memberikan jaminan masa depan," tutur Megawati.
Selain itu, Megawati meminta kepada seluruh aparatur dan pejabat negara serta kepala desa dan lurah untuk tak berpihak kepada pasangan calon tertentu.
Baca juga: Djarot Ungkap Status Effendi Simbolon Seusai Dukung RK-Suswono di Pilkada Jakarta 2024
Presiden kelima ini meminta seluruh pejabat negara mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 136/PUU-XII/2024.
Menurutnya, pejabat negara serta lurah, kepala desa, dan TNI-Polri yang melanggar ketentuan akan dipidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta.