Menurutnya, proses pemilu sebelumnya menunjukkan indikasi ketidaknetralan, seperti kandidat yang tidak layak secara administrasi namun tetap lolos seleksi.
Sementara itu, Direktur IBC, Elizabeth Kusrini, menambahkan bahwa tingginya biaya politik membuat kandidat terpaksa mengeluarkan dana besar, baik untuk memperoleh dukungan partai maupun membiayai kampanye.
Hal ini sering kali berujung pada kebijakan yang boros anggaran dan mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif LiMa, Ray Rangkuti, mendesak perlunya revisi Undang-Undang Pemilu untuk mencegah politik uang dan praktik transaksional.
Ia juga menyarankan, agar pemerintah pusat membiayai kampanye kandidat dari kas negara.
Sehingga para kandidat dapat lebih fokus pada ide-ide pembangunan hijau daripada mencari dana kampanye ilegal.
Seruan untuk Bertindak
IWGFF dan koalisi mengajak masyarakat menolak praktik politik uang, terutama “serangan fajar” yang sering dilakukan para kandidat.
“Jumlah yang diterima masyarakat tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang akibat kerusakan lingkungan dan ekonomi daerah,” tegas Willem.
Dengan gerakan ini, diharapkan Pilkada 2024 tidak hanya menjadi ajang memilih pemimpin, tetapi juga momentum untuk mendorong tata kelola lingkungan yang lebih baik demi masa depan Indonesia yang berkelanjutan. (*)