Selama menyelam, mantan jurnalis di Kota Makassar ini, juga melakukan dokumentasi di dalam laut Boedingi.
Nampak tak ada lagi yang tersisa selain lapisan sedimen nikel yang menutup terumbu karang.
Ia melihat ikan putih kecil yang berenang berkelompok mengitari laut yang sudah keruh itu.
Habib Nadjar lantas mengukur sedimen dengan menggunakan tongkat. Didapati, yang menutup dasar laut dan terumbu karang sudah mencapai satu hingga empat meter.
Kondisi ini kata Habib Nadjar begitu miris. Kurang dari 10 tahun lamanya, perusahaan tambang nikel beroperasi, sedimentasi yang ada sudah begitu tinggi di lautan.
“Bagaimana 10 tahun ke depannya?” tanyanya getir seusai menyelam di tepi laut Desa Boedingi.
“Itu tingginya sudah melebihi terumbu karang yang ada. Memang sudah tidak ada apa-apa lagi (di dalam laut). Jadi ekosistem itu, habis,” tuturnya.
Menurut, Habib Nadjar di perairan Teluk Lasolo ini, tempat Desa Boedingi berada memiliki sirkulasi arus pasang surut yang baik sehingga dulunya sempat dijadikan sebagai area budi daya mutiara.
Kepala Desa Boedingi, Aksar menunjukkan sejumlah foto tentang pemandangan desanya pada 2009 sebelum banyak dihuni warga dan masih berstatus dusun.
Potret tersebut kini berbanding 180 derajat dengan saat ini. Nampak dalam foto, kondisi Boedingi begitu sejuk.
Pohon-pohon masih lebat dari kejauhan terlihat asri, tak ada satupun yang dibabat. Belum lagi kondisi laut yang tidak secokelat saat ini.
Laut Boedingi dulu berwarna hijau segar di area tepi perkampungan. Rumah-rumah papan warga yang berdiri di atas lautan masih nampak alami.
Namun saat 2023, kondisi Boedingi sudah tak dingin seperti namanya. Jika panas maka akan begitu terik.
Lalu saat musim hujan, sedimen turun ke area permukiman warga.