Mengawali kisah pada tahun 90-an saat itu konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia.
Subari dan keluarga tinggal di Aceh Timur. Keluarga bersuku Jawa ini pun akhirnya memilih jalan untuk pindah ke Kota Binjai, Sumatera Utara.
Beberapa tahun tinggal di Binjai, selanjutnya 1998 mereka kembali ke Aceh. Tepatnya ke Kampung Pantan Sile, Kecamatan Kute Panang, Aceh Tengah.
Di sana, ia memulai kehidupan baru menjadi seorang petani.
Konflik bersenjata saat itu belum usai. Akhirnya Subari memutuskan pindah ke Takengon, Aceh Tengah pada 2000.
Dengan tekad berani, Subari memulai bisnis kecil-kecilan membuat produk tempe hasil olahan sendiri.
"Kita dulu jualan tempe, namun karena tempe kurang peminat, kita akhirnya jualan," kenangnya.
Sejak 2000 hingga sekarang, Subari bersama istri menekuni profesi sebagai pedagang di pasar tradisional Takengon.
Dengan modal kecil, ia sanggup mengontrak rumah di kawasan Kampung Tetunyung, Kecamatan Lut Tawar, Aceh Tengah.
Pertama bagi pria berdarah Jawa ini menjual rempah-rempah kebutuhan pokok di Pasar Inpres Takengon.
Kemudian, ia pindah tempat ke bagian pasar pagi lama atau Pasar Bawah Takengon, terakhir hingga saat ini Subari berjualan di Pasar Paya Ilang Takengon.
Subari terus gigih menjalani hidupnya, karena yang ia yakini ada Tuhan menentukan takdir manusia.
"Ya kita terus yakin, kuncinya nya ya usaha kita yakin aja, jangan asal-asalan, rezekinya pasti ada, itu dijamin Allah kan," ungkap pria bersahaja itu.
Laki-laki kelahiran Siantar 1953 itu mengaku pernah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).