TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengakui bahwa akan bertemu Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo untuk membahas renegosiasi pembagian beban pembayaran utang megaproyek mass rapid transit (MRT).
"Saya rasa pak Gubernur mau ke kantor nanti," ungkap Agus kepada wartawan saat ditemui di kompleks Istana Negara, Jakarta, Senin (3/12/2012).
Mantan Direktur Utama Bank Mandiri ini menyebutkan bahwa dalam struktur MRT yang disepakati, pemerintah pusat hanya mengibahkan 52 persen dari total pembiayaan proyek MRT. Selebihnya, yakni 48 persen diberikan dalam bentuk pinjaman dengan bunga rendah.
"Disepakati itu adalah pemerintah pusat hibahkan 52 persen dari biaya project. Dan yang 48 persen diberikan dalam bentuk pinjaman dengan bunga murah," ungkap Agus.
"Jadi bentuk dukungan pemerintah pusat itu sudah besar," tegas dia.
Lebih lanjut dia menyambut baik, Gubernur Jokowi melakukan kajian atas kelayakan proyek MRT itu sendiri. Yakni untuk melihat apakah proyek MRT tersebut kemahalan atau tidak. Pun untuk mengetahui berapa biaya yang harus ditanggung.
"Itu inisiatif baik. Tapi dari pemerintah pusat sudah mendukung, yakni dari total investati 52 persen dalam bentuk hibah. Itu artinya ditanggung pemerintah pusat," sebutnya kembali.
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah DKI Jakarta mendapati beban utang sebesar 58 persen dari total pembiayaan proyek MRT, yang dibiayai pihak Japan International Cooperation Agency (JICA). Sementara, pemerintah pusat hanya dibebani pembayaran utang senilai 42 persen dari total pembiayaan senilai Rp 15 triliun ini.
"Pusat memang seharusnya yang lebih gede agar beban dari APBD enggak banyak. Jadi akan saya kalkulasi untuk mengembalikan agar juga dapat meringankan. Nanti kalau enggak kayak gitu, ya enak di Jepang dan pemerintah pusatnya," kata Jokowi, di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (2/12/2012).
Usai bertemu dengan Menteri Agus, Jokowi juga berencana menemui pihak JICA, sebagai pihak pemberi pinjaman. "Kita akan nego kembali dengan peminjam. Semuanya, seperti kontraktor dan barang-barang semuanya dari sana. Terus ya kita ngapain? Masyarakat semua harus tahu," tutur Jokowi.
Sebagaimana diketahui, Jokowi mulai memimpin rapat perdana pembahasan MRT pada 22 Oktober di Balaikota. Pembahasan kedua digelar 30 Oktober. Kemudian rapat ketiga digelar pada 28 November 2012 di Balaikota DKI. Pada rapat terakhir, Jokowi meninggalkan rapat ketika pertemuan masih berlangsung.
Lebih lanjut, Pemprov DKI terus mengkaji rencana pembangunan MRT ini, terutama menimbang adanya sanksi materi dan imaterill apabila pembangunannya molor atau batal dilaksanakan. Dalam perjanjian pinjaman (loan agreement), tercantum bahwa jika pembangunan MRT terlambat dan tidak sesuai dengan jadwal, maka akan dikenakan kewajiban membayar bunga sebesar Rp 800 juta per hari. Bunga itu selanjutnya menjadi beban Pemprov DKI dan juga pemerintah pusat.
Begitu juga jika Jokowi akhirnya memutuskan untuk membatalkan pelaksanaan pembangunan MRT dengan alasan biaya yang terlalu mahal. Maka konsekuensi moral dan nama baik DKI Jakarta serta Indonesia di iklim investasi internasional akan tercemar karena dana pinjaman untuk proyek MRT hanya dibebankan bunga kecil, yakni 0,25 persen berikut jangka waktu pengembalian pinjaman selama 30 tahun.