TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku kapok menyelenggarakan Pesta Rakyat Jakarta (PRJ) di kawasan Monumen Nasional (Monas).
Justru dengan memberi ruang bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) membuat keberadaannya semakin semerawut.
"Kita dulu kan maksudnya sederhana, kita tuh ingin sekali seluruh taman dan trotoar kita itu bisa diatur untuk PKL. PKL dasarnya selalu mau mendekatkan diri ke tempat yang ramai, tempat yang ramai itu dimana? taman dan trotoar, jembatan penyebrangan," ujar pria yang akrab disapa Ahok di Balai Kota, Jumat (29/5/2015).
Dikatakan dia, bila taman, trotoar, dan jembatan penyebrangannya lebar sebetulnya keberadaan PKL bisa diatur sehingga tidak menghalangi orang jalan kaki atau macet.
"Apalagi Monas segede begitu, ditaro 1000 PKL juga bisa, kita coba nih, ternyata yang terjadi oknum preman, oknum Ormas lebih banyak, oknum aparat juga jualin sampe 2000-3000 (lapak)," ungkapnya.
Akibatnya Monas menjadi semerawut seperti kasus Kota Tua dimana Museum Fatahillah yang seharusnya duduk menikmati keadaan Kota Tua, justru menjadi tidak nyaman karena PKL terlalu banyak.
"Monas juga sama, waktu kita buka itu. Sejak itu kita katakan tidak bisa deh. Jadi memang orang-orang kita itu dikasih kaki minta hati, tidak bisa. Makanya kita tata saja sudah. Mau marah ya marah deh," ungkapnya.
Tetapi dikatakan Ahok, niat dirinya menata PKL tetap memberikan ruang kepada mereka untuk mendapat tempat berjualan.
"Niat kita tetep untuk menolong PKL supaya punya tempat jualan. Karena yang paling mahal di Jakarta itu apa? tempat kan? Nah makanya kita arahkan di masing-masing wilayah," ujarnya.