TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Bidang Riset dan Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai ojek bukan kendaraan umum yang baik. Menurut Djoko banyak dampak buruk yang ditimbulkan pengendara ojek.
Pasalnya, ojek sampai saat ini tidak diatur dalam UU nomor 22 LLAJ.
"Ojek solusi sesaat yang menyesatkan," ujar Djoko dihubungi wartawan, Rabu (19/8/2015).
Djoko memaparkan dengan bertambahnya perusahaan ojek, kenaikan jumlah kendaraan bermotor di wilayah perkotaan naik 75-80 persen. Hal itu pun meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang berasal dari impor senilai 31 miliar dolar AS.
"Belum pencemaran udara pasti bertambah, pangkalan ojek akan jadi masalah juga," ungkap Djoko.
Djoko pun berharap para pemimpin daerah tingkat kota dan provinsi bisa menata ojek dengan baik jika memang masyarakat membutuhkan. Djoko memberi contoh Kota Shanghai yang memiliki pangkalan ojek yang rapih dan bersih, namun kurang diminati karena banyak transportasi umum yang lebih murah dan humanis.
"Andaikan wali kota atau bupati serius menata transportasi bermartabat, pasti warga tidak mau gunakan ojek seperti di Shanghai," kata Djoko.
Djoko menambahkan bahwa bajaj bisa lebih baik daripada ojek. Asalkan bajaj menggunakan gas ramah lingkungan dan bisa diatur rapih.
"Bajaj yang bahan bakar gas, ramah lingkungan, tidak kehujanan dan kepanasan, muhrimnya juga nggak masalah diangkut," papar Djoko.