TRIBUNNEWS.COM, SERANG - Banten sebagai masyarakat ataupun daerah tidak perlu diajari untuk hidup berbangsa ataupun bermimpi masa depan bangsa.
Pergerakan kebangsaan nusantara diawali dengan perlawanan gigih masyarakat Banten yang melawan VOC (Belanda).
Oleh karena itu, Banten perlu mengingatkan pemerintah tentang sejarah kebangsaan yang berawal dari Banten itu.
Demikian ditegaskan Bondan Gunawan, mantan Mensesneg pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid, kepada peserta seminar di Universitas Tirtayasa (Untirta), Selasa (6/10/2015) melalui rilis yang masuk di redaksi Tribunnews.com.
Seminar yang dipandu oleh Konsultan Komunikasi Politik, AM Putut Prabantoro itu bertajuk 'Revolusi Mental Menuju Banten Sejahtera dan Bermartabat' dan diadakan dalam rangka menyambut kedatangan Kapsul Waktu yang bertugas mengumpulkan mimpi masyarakat seluruh Indonesia untuk 70 tahun kedua Kemerdekaan Indonesia.
Hadir pula sebagai pembicara antara lain Soleh Hidayat (Rektor Untirta), Rahmat Taufik (Ketua STIE Banten), Ito Prajna Nugroho (Dosen STF Driyarkara) dan Asep Rahmatullah (Ketua DPRD Banten).
“Mengingat sejarah panjang Banten dan kontribusinya terhadap pergerakan kebangsaan di nusantara, sayalah yang mendorong Mendagri waktu itu Soerjadi Soedirjda untuk membentuk Provinsi Banten.
Selain perjuangan kebangsaan, Banten sangat kaya akan berbagai potensi ekonomi termasuk pariwisata, situs bersejarah, pelabuhan dll,” ujar Bondan Gunawan.
Ditambahkannya, Banten adalah wilayah yang mengawali perlawanan melawan VOC yang mengamankan sistem monopoli perdagangannya yang terkenal dengan sebutan pelayaran Hongi yakni menggunakan kekuatan laut.
Oleh karena itu, pemerintah Joko Widodo harus melihat kembali Banten sebagai titik sentral dalam pusaran maritim Indonesia.
“China baru membangun dirinya 30 tahun namun ia bisa menjadi raksasa ekonomi dunia. Kita tidak perlu bermimpi 70 tahun ke depan tetapi berpikir 100 tahun kemerdekaan Indonesia, Banten akan menjadi apa.
Sudah 70 tahun merdeka saja masyarakat masih bingung mencari air pada musim kemarau, padahal ini merupakan hal yang mudah diatasi,” ujarnya.
Sementara itu, ITO Prajna Nugraha menegaskan bahwa jika G70 adalah merupakan bagian dari Revolusi Mental maka yang harus dilakukan oleh pemerintah merevitalisasi nilai Pancasila.
Revolusi mental, ujar Ito yang juga dosen Universitas Pertahanan, adalah cara Indonesia melihat negaranya dengan cara pandang baru.
Pada zaman Orde Baru, Pancasila hanya dilihat sebagai nilai untuk mengukur moral individu sehingga pada akhirnya Pancasila ditinggalkan. Seharusnya, Pancasila menjadi karakter negara yang jika ditinggalkan akan menimbulkan kekacauan.
“P4 hanya mengurusi moral individu di negara Indonesia sehingga Pancasila belum menjadi karakter negara. Kalau menjadi karakter negara, Pancasila akan menjadi nilai luhur yang mengikat para pejabatnya.
Dengan demikian, jika Pancasila ditinggalkan sudah pasti akan terjadi pergolakan di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Banten yang senantiasa berada pada arus pergolakan.
Banten seperti laut, tenang tetapi menyimpan arus besar dan berbahaya yang ada di dalamnya. Untuk menghindari ancaman itu, Pancasila harus menjadi karakter negara bagi para pejabat Banten,” ujar Ito.
Pendapat hampir sama juga diungkapkan oleh Sosiolog Banten, Tihami yang mengatakan, jika Revolusi Mental akan dibudayakan, ia harus berada pada ranah sikap (attitude).
Sikap ini pada akhirnya harus menjadi character building yang akan membangun pengetahuan dan perilaku. Oleh karena itu, Revolusi mental akan mengarah pada pembangunan bangsa dalam tataran budaya baru.
Dijelaskan lebih lanjut, pembangunan peradaban budaya membutuhkan lima hal yakni, kepastian dalam penegakan hukum, pendidikan semesta yang mengarah pada perambatan budaya sikap serta perilaku, kelancaran informasi serta komunikasi, teladan atau model, dan terakhir terbangunnya kehidupan berpolitik yang baru.
Terkait dengan Kapsul Waktu Gerakan 70 (G-70), Koordinator Panitia Daerah, Ananta Wahana menjelaskan pihaknya menyebarkan formulir isian yang diisi oleh para mahasiswa.
Mimpi-mipi itu kemudian akan diperas menjadi 7 (tujuh) mimpi. Mimpi-mimpi seluruh Indonesia itu akan dikumpulkan dalam kapsul waktu dan akan dibuka pada tahun 2085.
Untuk mendukung G-70 itu, Ananta menambahkan, bersama sebuah tim yang dibentuk akan menyusun buku 'Menuju Banten 2085'. Seminar yang diselenggarakan mencoba untuk menangkap aspirasi dari para tokoh Banten.(*)