Ya, Jessica adalah terdakwa yang ketika itu selama proses persidangan berlangsung menjadi sosok yang patut diduga bersalah.
Tapi, bukankah sebagai jurnalis saya pun harus memberikan “ruang objektif” kepada Jessica? Mulailah, saya selalu menempati kursi pengunjung sidang paling depan dan hampir tak pernah meninggalkan ruang sidang kecuali ke kamar kecil atau untuk keperluan lain - tapi tak pernah lama.
Saya tak ingin melewatkan momen apapun yang mungkin tak tertangkap kamera dan terutama saya harus mencatat poin-poin penting dari persidangan yang harus disampaikan dalam laporan langsung.
Saya pun tak melewatkan momen saat sidang diskors untuk jeda beberapa menit. Biasanya, Jessica tetap berada di ruang sidang dan memilih duduk di belakang deretan kursi para penasehat hukumnya.
“Jes, bilang ke Tante Imelda saya mau wawancara ya”, saya ucapkan kepadanya dengan serius karena memang ketika itu sosok ibunda Jessica sulit sekali untuk diwawancarai. “Ya, nanti aku bilangin mama”, jawabnya singkat.
Saya pertama kali mewawancarai Imelda Wongso pada 31 Juni 2016. Ketika itu, sidang kasus putrinya baru berjalan sekitar 2 pekan karena sidang perdana berlangsung pada tanggal 15 Juni 2016.
Selama proses persidangan berlangsung, tak jarang beberapa penasehat hukum Jessica protes atas tayangan kami karena dinilai memihak dan telah memvonis Jessica jauh sebelum vonis hakim dijatuhkan.
9 September 2016, saya dan beberapa rekan yang biasa bertugas di pengadilan negeri Jakarta Pusat menemui Otto Hasibuan di kantornya di kawasan Duta Merlin, Jakarta Pusat.
Ketika itu, kami sampaikan kepada Otto Hasibuan, kalau selama ini media dianggap tidak berimbang memberitakan soal kasus Jessica maka berilah kami kesempatan untuk mendapatkan banyak informasi dari kubu Jessica.
Ada banyak hal soal Jessica yang selama ini tak diketahui publik. Izinkan kami mewawancarai mamanya, Otto Hasibuan pun setuju. Tapi tak berarti setelah itu semuanya berjalan mulus.
Saya ingat betul, 5 kali gagal mewawancarai Imelda Wongso. Bahkan pernah dalam salah satu percobaan mewawancarai Imelda Wongso, saya dan kru harus rela digigit nyamuk duduk berjam-jam di trotoar dibawah plang tulisan jalan “Selat Bangka” tepat di depan rumah Jessica dan pulang tanpa berhasil mewawancarainya.
Momen itu seperti kembali “menampar” saya. Untuk kesekian kalinya, saya kembali mempertanyakan: “apakah setidak-objetif itukah kami di mata ibunda Jessica?”
Sidang demi sidang terus berjalan; panjang, melelahkan, dan kerap diwarnai perdebatan sengit. Dan selama itu pula, saya tetap duduk di bangku pengunjung sidang paling depan dengan posisi yang sama.
Entahlah, ketika itu saya hampir tak menemukan cara untuk “mengatakan” kepada Jessica dan para penasehat hukumnya bahwa saya ingin MENDENGAR dan MELIHAT lebih DEKAT setelah selama ini begitu “berjarak”.
>