Mini menambahkan, tren kenaikan kasus kekerasan ini dikarenakan orangtua sudah berani melapor hal yang dialami sang anak kepada petugas.
Beberapa tahun sebelumnya, kata dia, orangtua cenderung menutup diri karena belum 'melek hukum'.
Artinya, mereka belum siap menghadapi petugas atau takut diperiksa penyidik.
"Bahkan ada juga yang khawatir kasus tersebut akan dikenakan biaya. Padahal tidak sama sekali," jelas Mini.
Kepala BP3AKB Kota Bekasi Riswanti menambahkan, lembaganya hanya bertugas memediasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Apabila kasus tersebut dilimpahkan ke penyidik, pihaknya tetap memberikan pendampingan terhadap psikologisnya.
"Kami sifatnya hanya memediasi, kalau ada korban yang ingin menyelesaikan hingga ke pengadilan, kami akan berikan pendampingan," ujar Riswanti.
Menurut dia, lembaganya telah membentuk satuan tugas (satgas) khusus perlindungan anak dan perempuan sejak awal tahun 2015 lalu.
Adapun pembentukan satgas ini, berdasarkan instruksi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA).
"Ada ratusan satgas dan sudah aktif hampir di seluruh RW di Kota Bekasi. Mereka juga sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian guna mendeteksi adanya tindakan kekerasan yang dialami oleh anak dan perempuan," kata Riswanti.
Selain berperan sebagai pendeteksi aksi kekerasan, satgas ini juga ditugaskan untuk memberi penyuluhan di kalangan masyarakat.
Penyuluhan itu, biasanya menitikberatkan tentang bahaya kekerasan yang dialami anak dan kaum perempuan. (Fitriyandi Al Fajri)