TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Departemen Infokom dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S Cahyono mengatakan, keputusan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tak jauh berbeda dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Mereka sama-sama menetapkan UMP DKI berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Kahar mengatakan, saat kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017, Anies pernah membuat kontrak politik dengan buruh dan berjanji tak akan menggunakan PP 78 sebagai dasar penetapan UMP.
"Kami buruh kecewa. Anies-Sandi sama lah dengan Ahok yang kami kritik dengan upah murah itu, enggak jauh beda karena keduanya menetapkan upah dengan PP 78," ujar Kahar saat dihubungi Kompas.com, Kamis (2/11/2017).
Baca: Pemprov DKI Jaya Tetapkan UMP Rp 3,648 juta, Buruh Ancam Demo Besar-besaran
Dari 10 poin kontrak politik dengan buruh yang diteken Anies, salah satu poin yang disepakati ialah tidak menggunakan PP 78 untuk dijadikan dasar penetapan UMP DKI Jakarta.
Serikat buruh meminta agar UMP DKI ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Penghitungan UMP menurut UU 13/2003 berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL), inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Jika berdasarkan rumus tersebut, kata dia, UMP layak di DKI Jakarta sebesar Rp 3,9 juta.
Dengan demikian, para buruh mempertimbangkan mencabut dukungan terhadap pemerintahan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
"Elemen buruh yang mendukung (penetapan UMP) Rp 3,9 juta kan elemen yang mendukung Anies-Sandi memenangkan pemilihan kemarin. Kami sudah mempertimbangkan untuk mencabut dukungan," ujar Kahar.
Kahar mengatakan, buruh juga mempertimbangkan melakukan perlawanan secara hukum atas penetapan UMP DKI Jakarta.
Sejumlah serikat buruh pernah menggugat Pergub Nomor 227 Tahun 2016 tentang UMP DKI Jakarta Tahun 2017 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Saat itu Ahok menetapkan UMP DKI Jakarta sebesar Rp 3,3 juta yang dinilai tak layak oleh sejumlah serikat buruh.
"PTUN mengabulkan sebagian gugatan buruh, yang mengatakan penetapan UMP tidak didasarkan pada KHL itu cacat hukum. Justru sekarang di ulang yang sama, kami akan melakukan aksi besar-besaran dan upaya hukum," ujar Kahar.