WS kemudian pindah tempat dan kembali mendirikan gubuk Kampung Jawaringan, Desa Sukamanah, Kecamatan Rajeg sekitar bulan Oktober 2017.
Namun, menurut tersangka, meski sudah pindah tempat, anak-anak tetap mendatanginya.
"Di gubuk yang baru itu, tersangka kembali melakukan aksinya dengan modus serupa," ungkapnya.
Hingga pada tanggal 2 Desember 2017, tersangka kembali melakukan aksi kekerasan seksual kepada 3 anak-anak.
Salah satu anak kemudian menceritakan peristiwa itu kepada orangtuanya.
Setelah melakukan penyelidikan, pada tanggal 14 Desember 2017, berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP /29/K/XII/2017/Sek.Rajeg Tanggal 14 Desember 2017, seorang warga akhirnya melaporkan bahwa anak laki-lakinya menjadi korban peristiwa itu ke Polsek Rajeg.
"Setelah dilakukan visum, atas perintah saya, kasus itu diambil alih Polresta Tangerang dengan Pelimpahan Berkas Perkara Nomor B: 151/XII/2017/Sek.Rajeg, tanggal 20 Desember 2017," katanya.
Pelimpahan penanganan itu dilatarbelakangi sensitivitas kasus serta pola penanganan yang harus benar-benar maksimal.
Dari hasil interogasi, jumlah anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual sebanyak 25 orang, kesemuanya sudah menjalani visum.
Satu per satu nama anak yang menjadi korban, tersangka mengaku mengenalinya.
Sabilul menyebut dalam kesempatan ini, demi menjaga hak anak dan keluarganya, maka foto dan inisial korban tidak dirilis.
Jajarannya juga sudah melakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap tersangka dinyatakan normal.
Rata-rata usia anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh tersangka antara 10-15 tahun dan semua berjenis kelamin laki-laki.
Dari peristiwa itu, diamankan barang bukti berupa 1 kaos lengan pendek merek little boy, 1 celana pendek warna biru ungu, pelor gotri, dan telepon genggam.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 5 tahun dalam paling lama 15 tahun.
"Untuk selanjutnya, langkah yang diambil adalah melakukan pemeriksaan terhadap korban didampingi orangtua, saksi, dan tersangka. Kemudian melengkapi administrasi penyidikan dan gelar perkara. Kepada para korban diberikan trauma healing dan pendampingan dari P2TP2A dan Kemen PPPA," tuturnya.