Pertumbuhan semangat dan kepemimpinan persatuan gerakan inilah yang kemudian memungkinkan terselenggaranya Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) Pertama.
Lewat Kongres ini, para pemimpin perjuangan Masyarakat Adat menyatukan semangat dan komitmen bersama untuk mengingatkan kembali para penyelenggara Negara dan seluruh elemen bangsa tentang tujuan mulia berdirinya Negara Republik Indonesia, melakukan koreksi atas perjalanan bangsa yang sudah tidak lagi sesuai dengan cita-cita luhur Pendiri Bangsa sebagaimana dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945, dan menegaskan kembali posisi Masyarakat Adat terhadap Negara.
Penegasan itu tercermin dalam Pandangan Dasar Kongres yang menyatakan bahwa “Kami sudah sejak dulu ada sebelum Negara Republik Indonesia.” dan oleh sebab itu “Jika Negara Tidak Mengakui Kami, maka Kami Tidak Mengakui Negara.”
Bapak, Ibu, Saudara/i sekalian
20 tahun merupakan waktu yang cukup untuk kita merefleksikan secara mendalam perjalanan perjuangan Masyarakat Adat Nusantara. Geliat AMAN sebagai wadah berjuang bagi Masyarakat Adat Nusantara tentunya mengalami pasang surut.
Dinamika politik nasional dan global kadang bersahabat, tak jarang pula menghadirkan badai. Pada tingkat internasional, AMAN telah terlibat sejak penyusunan Draf United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) hingga isu Hak Asasi Manusia, perubahan iklim, dan isu-isu lainnya.
Sementara di tingkat nasional, AMAN telah berjuang untuk mengubah hukum-hukum yang represif antara lain dengan menguji materi UU Kehutanan yang kemudian melahirkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012.
Juga terlibat aktif dalam Inkuiri Nasional yang dilakukan oleh Komnas HAM tentang Pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan, mendorong masuknya peta wilayah adat dalam One Map Policy, hingga memperjuangkan masuknya 6 tuntutan masyarakat adat dalam Visi dan Misi Presiden Republik Indonesia yang dikenal dengan NAWACITA. Tidak hanya itu, AMAN juga berjuang hingga daerah dengan mendorong pembentukan produk hukum daerah yang mengakui Masyarakat Adat dan hak-haknya.
Meski tak mudah, kita mampu melalui masa-masa penuh tantangan, mengambil pilihan-pilihan strategis dalam rangka merespon dinamika politik nasional dan global.
Sejak berdiri tahun 1999 hingga tahun 2007, AMAN pernah tampil konfrontatif dengan Negara untuk menegaskan posisinya terhadap Negara, menunjukkan kehadirannya sebagai gerakan sosial yang tumbuh dari realitas sosial di kampung-kampung adat dan sekaligus memperkuat pondasi solidaritas, rasa senasib-sepenanggungan di antara sesama Masyarakat Adat.
Perjuangan konfrontatif ini mendapatkan beragam respon dari penyelenggara Negara dan berbagai pihak. Dengan perjuangan yang konsisten, respon positif terhadap kehadiran AMAN terus bertambah. Respon positif inilah yang membantu AMAN mengubah tampilan perjuangan dari konfrontasi ke dialog, full engagement, sejak tahun 2007.
Strategi ini kita ambil karena pemerintah mulai menunjukkan keterbukaan pada tuntutan-tuntutan Masyarakat Adat. Pilihan strategi tersebut mengharuskan AMAN masuk ke dalam proses-proses pengambilan keputusan politik dan teknokratik yang berpengaruh pada kehidupan Masyarakat Adat.
Organisasi yang bertumbuh cukup stabil di tingkat wilayah dan daerah juga mendukung perubahan strategi ini dengan rasa percaya diri yang lebih kuat.
Banyak tantangan yang kita hadapi dalam melaksanakan strategi ini. Tuntutan Masyarakat Adat tak selalu disambut sebagaimana mestinya. Masyarakat adat yang memperjuangkan haknya termasuk hak atas wilayah adat (tanah, hutan, dan air) sebagian besar menemui jalan buntu.
Pemerintah masih saja mempertahankan sikap abai dan memaksakan kehendaknya sendiri untuk menunda, mempersulit atau bahkan dengan sengaja membiarkan pelanggaran-pelanggaran terhadap Masyarakat Adat terjadi di lapangan. Beberapa bukti dari mengakar kuatnya sikap tersebut adalah dengan tidak adanya keberanian untuk mengubah UU Kehutanan yang terbukti menghambat pelaksanaan putusan MK 35/2012.
Begitu pula dengan ketidakjelasan sikap pemerintah dalam mempercepat pembahasan RUU Masyarakat Adat yang sudah dijanjikan Presiden dan Wakil Presiden dalam NAWACITA.
AMAN menyadari bahwa berbagai pelanggaran terhadap hak Masyarakat Adat bersumber dari politik hukum yang memang dirancang untuk abai pada kepentingan Masyarakat Adat. Pendekatan dialog dan kemitraan dengan Pemerintah tidak cukup! AMAN harus masuk ke politik elektoral secara bermartabat.
Untuk itu, sejak tahun 2009 AMAN mulai terlibat untuk ikut bertanding di dalam gelanggang Pemilu, Pemilukada hingga Pemilihan Kepala Desa. Masyarakat Adat mengutus kader-kader terbaik, anak-anak adat hingga para sahabat melalui musyawarah-mufakat di kampung-kampung untuk menjadi perancang, pembuat dan pelaksana kebijakan publik di setiap ruang-ruang politik yang tersedia.
Sebagian besar dari mereka telah menjadi motor penggerak lahirnya Peraturan-Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat dan menghasilkan kebijakan yang mengakui, melindungi dan menghormati keberadaan Masyarakat Adat.
Partisipasi politik Masyarakat Adat tersebut kembali ditingkatkan pada tahun 2019 ini dengan mendorong ratusan kader-kader terbaiknya untuk terlibat di dalam pemilu legislatif.
Langkah perjuangan ini didasari pada fakta bahwa berbagai pelanggaran hak Masyarakat Adat disebabkan oleh karena hukum dan kebijakan disusun oleh orang-orang yang tidak memahami persoalan Masyarakat Adat. Untuk itu, Masyarakat Adat harus masuk ke dalam proses-proses pengambilan keputusan.
Bukan sebagai partisipan, tetapi sebagai aktor utama pembentuk hukum dan kebijakan. Hingga saat ini, AMAN berhasil menempatkan 81 kader utusan politik di tingkat Kepala Desa, 2 Kepala Daerah di tingkat Kabupaten dan 34 anggota legislatif hasil Pemilu 2019.
Bapak Ibu dan saudara-saudaraku yang saya banggakan,
Sebagai organisasi yang dibentuk oleh Masyarakat Adat untuk mengorganisir diri sendiri, selama 20 tahun ini, AMAN semakin percaya diri, bahwa perjuangan yang dilakukan secara kolektif mampu membuat perubahan demi perubahan.
Kolektifitas adalah kekuatan utama Masyarakat Adat. Di bidang ekonomi, AMAN telah menunjukkan bahwa sistem ekonomi kolektif Masyarakat Adat yang bertumpu pada pengetahuan dan kearifan dalam pengelolaan wilayah adat dan sumber daya alamnya, telah terbukti mampu bertahan dari berbagai terpaan krisis.
Studi yang dilakukan ekonom dari UI, IPB, dan UNPAD di 6 Komunitas Masyarakat Adat membuktikan sumber daya alam yang dikelola masyarakat adat memiliki potensi besar yang bahkan melampaui jumlah pendapatan daerah.
Namun model ekonomi Masyarakat Adat ini terus-terus disingkirkan sistim ekonomi nasional, terbukti dengan semakin luasnya model-model pengelolaan ekonomi berskala besar yang justru merampas wilayah adat. Menjadikan masyarakat adat seperti tikus yang mati di lumbung padi.
Kemampuan Masyarakat Adat menjaga dan mengelola Wilayah Adatnya secara kolektif bertumpu pada kearifan dan pengetahuannya. Tapi, sekolah-sekolah formal tidak mengajarkan semua itu.
Anak-anak muda dididik untuk pergi meninggalkan kampungnya dan menanggalkan identitasnya. Hal ini tidak kita biarkan berlanjut. Kita memastikan pengetahuan Masyarakat Adat itu tidak hilang dan anak-anak muda bangga dan mampu mengelola Wilayah Adat sendiri.
Sejak tahun 2015 melalui Yayasan Pendidikan Masyarakat Adat Nusantara, anak-anak muda mengorganisir diri untuk kembali ke kampung, membangun sekolah adat di daerahnya masing-masing.
Saat ini telah berdiri 50 Sekolah Adat yang tersebar dari Papua hingga Sumatera, dan akan terus kita dorong pembentukannya, agar generasi muda Masyarakat Adat dapat terus menjaga Wilayah Adat dan memastikan kita masyarakat adat masih ada berabad-abad ke depan.
Bapak Ibu dan saudara-saudaraku yang saya kasihi,
Di depan, tantangan tidaklah ringan. Negara belum sungguh-sungguh berubah. Sikap abai, mempersulit, bertele-tele, membuat lebih rumit, adalah sikap-sikap yang telah berakibat pada mandegnya berbagai agenda perubahan: Putusan MK 35/2012 sejauh ini baru menghasilkan sekitar 30.000 hektar hutan adat, sementara RUU Masyarakat Adat jalan di tempat.
Sementara di sisi lain, negara aktif merampas wilayah-wilayah adat. Kasus-kasus yang dialami Masyarakat Adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah, Masyarakat adat Rendu di Nagekeo Nusa Tenggara Timur, Masyarakat adat Seko di Sulawesi Selatan, dan kasus-kasus lainnya menunjukkan hal itu.
Di tingkat dunia, kita juga terus mengalami tantangan. Laporan Panel Ahli Perubahan Iklim Antarpemerintah (IPCC) tentang tata kelola lahan yang baru saja dirilis pada 8 Agustus menekankan bahwa pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat amat penting dalam mendukung upaya dunia dalam memitigasi perubahan iklim lewat pengelolaan hutan yang lestari.
Pengetahuan tradisional dan pengelolaan berkelanjutan wilayah dan sumberdaya adalah kunci untuk mengurangi emisi global sehingga membantu membatasi kenaikan suhu global menjadi 1,5 derajat pada tahun 2030. Kita Masyarakat Adat adalah garda terdepan dalam menjaga keanekaragaman hayati.
Saat ini, semakin banyak penelitian di dunia yang menunjukkan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat adat memiliki tingkat deforestasi yang lebih rendah, stok karbon tinggi, dan keanekaragaman hayati yang lebih tinggi di wilayah yang dilindungi oleh pemerintah. Masyarakat Adat mengelola setidaknya 22 persen (atau 218 gigaton) dari total karbon yang ada di hutan tropis dan subtropis.
Namun sayangnya, sepertiga dari karbon ini berada di wilayah yang tak diakui secara hukum sebagai tanah masyarakat adat. Tanpa pengakuan tersebut, maka bumi satu-satunya tempat kita hidup bersama semakin terancam.
Bapak, Ibu, saudara-saudara yang berbahagia,
Di tengah situasi itulah AMAN membentangkan cita-cita bersama Masyarakat Adat untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Sebuah cita-cita yang hanya akan tercapai jika kita mampu menjaga kebersamaan dan bertekad untuk selalu bergerak bersama.
Sementara, kita harus melebur dan memperkuat gerakan perubahan bersama dengan berbagai elemen masyarakat sipil dan pihak-pihak lain termasuk pemerintah.
Perjuangan Masyarakat Adat melampaui rezim, melintasi batas waktu. Kita masih jauh dari cita-cita kita bersama. Namun kita tidak menyerah. Kita tidak akan pernah menyerah.
Semangat kita berasal dari 2.359 komunitas adat anggota kita yang setia dalam perjuangan, komitmen dari 21 Pengurus Wilayah, 119 Pengurus Daerah, semangat dari Organisasi Sayap AMAN, yakni semua Perempuan Adat yang menyatukan diri dalam Persekutuan Perempuan Adat AMAN, para pemuda dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara, pembelaan dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, serta inspirasi dari 2 Badan Otonom dan 3 Badan Usaha yang terus memberikan motivasi bahwa kita bisa!
Hari ini, Jumat, 09 Agustus 2019, adalah Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia dan kita juga merayakan 20 tahun Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara, kita telah 20 tahun bangkit bersatu dan bergerak.
Kita merayakan hari besar ini dengan penuh suka cita dan rasa syukur atas perjalanan gerakan ini. Meski satu yang kita tuntut dan perjuangkan sejak 17 Maret 1999 yaitu Undang-undang Masyarakat Adat sampai detik ini belum tercapai.
Dengan penuh harapan kita menyerahkan langkah kita kepada Sang Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Kuasa dan bermohon restu para Leluhur Masyarakat Adat, agar kehidupan kita terus membaik, sampai suatu saatnya nanti Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia yang besar ini sungguh-sungguh Berdaulat, Mandiri dan Bermartabat di Tanah-Airnya sendiri.
Akhirnya, kepada semua Masyarakat Adat di Nusantara, selamat merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara, 20 Tahun AMAN dan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia.
Kita harus terus tanggap membela, aktif melindungi dan cepat melayani Masyarakat Adat di mana pun! Untuk itu kita harus terus kuat.
Jakarta, 9 Agustus 2019
Rukka Sombolinggi
Sekretaris Jendral AMAN