Hingga kini hanya rumahnya yang bertahan dan dikelilingi tower apartemen.
"Ya kan dibikin rese kampung ini lama-lama akhirnya pada kabur, rumah warga pada dijual-jualin dengan harga semau dia (warga), capek kali ketenangannya diusik. Kalau saya kan tidak takut, banyak lah saudara saya perwira, abang saya saja pangkatnya sudah tinggi," ucap Lies.
Baca: Orangtua yang Paksa Anaknya Mengemis di Aceh Ternyata Pakai Uangnya untuk Berjudi dan Beli Sabu
Baca: Demi Menghemat Bujet, Keluarga Ini Rela Tidur di Jalanan Saat Liburan di Italia
Kesedihan Lies tak hanya sampai disitu, ia menceritakan bagaimana dirinya diperlakukan secara tidak adil oleh pihak pengelola apartemen.
Pasalnya rumah Lies seringkali dianggap benalu bahkan uban yang harus ditutup-tutupi keberadaannya.
"Ini saja jalan ke bawah, tembok tinggi semua yang bangun pengelola supaya rumah saya tidak keliatan warga. Eh ini malah mau menutup rumah saya dengan tembok," ujar Lies.
Tidak cukup menutup setengah rumahnya menggunakan tembok berisi tanaman-tanaman hijau, rumah Lies pun sempat akan ditutupi tembok seluruhnya.
Namun, hal itu langsung ditolaknya. Ia menilai para pengelola tak berprikemanusiaan.
"Kalau ditembok semua, bagaimana saya keluar? Apa saya punya sayap yang bisa terbang?" kata Lies pada Jumat (20/9/2019).
Lies juga pernah mematahkan besi-besi yang diletakkan pengelola di area masuk rumahnya.
Ia juga menjelaskan jika dirinya sempat dimintai uang parkir.
"Pernah dimintai untuk Rp 500.000 mobil dan Rp 300.000 motor per bulannya. Saya tidak mau, akhirnya sekarang gratis. Enak saja mereka minta-minta ke saya, orang ini tanah juga tanah nenek moyang saya," kata Lies dengan nada tinggi.
(Tribunnews.com/Anugerah Tesa Aulia/Kompas.com/Cynthia Lova)