TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Ke Jakarta Aku Kan Kembali, Walaupun Apa Yang Kan Terjadi”.
Penggalan lirik lagu dari grup musik legendaris Koes Plus ini sepertinya tepat menggambarkan suasana kebatinan masyarakat yang terjadi saat ini.
Sekalipun pemerintah daerah menggunakan berbagai istilah untuk mengantar masyarakatnya masuk ke dalam tatanan kehidupan baru, masyarakat Indonesia termasuk yang mudik, yang dirumahkan, yang di-PHK dan yang work from home (WFH) bersiap-siap kembali ke “Jakarta” untuk mengadu nasib dalam New “Habitus Baru” Normal.
Demikian dikatakan Alumnus Lemhannas PPSA XXI, AM Putut Prabantoro dalam penjelasannya di Jakarta, Jumat (5/6/2020).
Baca: Minta Maaf dan Menyesal, Ibu yang Curi Sawit Buat Beli Beras dapat Tawaran Kerja dari Dirut PTPN V
Baca: Kronologi Hilangnya Wanita Berseragam Satpam Hingga Dievakuasi Tim SAR di Sungai Bengawan Solo
Ia juga menegaskan ada risiko baru yang harus diantisipasi dalam New “Habitus Baru” Normal karena terdapat dua kelompok yaitu yang meyakini dan tidak meyakini adanya covid-19.
“Kembali Ke Jakarta”, demikian diurai oleh Putut Prabantoro, adalah lagu Koes Plus yang diciptakan pada tahun 1969 oleh salah salah satu personilnya, Tony Koeswoyo.
Lagu ini termuat dalam album “Deg-Deg Plas”, yang merupakan istilah keren pada waktu itu.
“Deg-Deg Plas” adalah ungkapan untuk melukiskan jantung yang berdegub kencang atau berdetak cepat karena berbagai alasan termasuk ketidakpastian, ada ancaman ataupun ada tantangan.
Orang Jakarta mengatakan, “jantungnya empot-empotan”.
“Lagu ini pantas menjadi theme song dari New Normal atau habitus baru. Limapuluh tahun setelah dirilis, lagu ini ternyata cocok dengan suasana kebatinan masyarakat yang akan masuk dalam tatanan kehidupan baru. Sekalipun ada ketidakpastian, risiko, ancaman ataupun tantangan, masyarakat harus mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya apapun risikonya, yang oleh Koes Plus dikatakan – Walaupun Apa yang akan terjadi,” ujar Putut Prabantoro, yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa).
Jakarta adalah kota pertaruhan hidup, urai Putut Prabantoro lebih lanjut, di mana jutaan orang menggantungkan nasib dari kerja kasar sampai kerja sangat halus, dari pengemis hingga CEO perusahaan multinasional.
Baca: Aparat Desa: Mustahil RMS Tak Punya Beras, di Rumahnya Ada Dua Motor, TV, HP. . . .
Karena menguasai 70% perputaran uang seluruh Indonesia, Jakarta bukan hanya milik warga Jakarta yang berjumlah 10,4 juta per tahun 2018.
Jakarta juga milik warga Jabodetabek, Banten, Jawa Barat dan yang berasal dari berbagai Indonesia meski tidak memiliki KTP Jakarta.
“Kembali Ke Jakarta”, masih menurut Putut Prabantoro adalah ungkapan yang sering terdengar setelah libur Lebaran di mana sebagian besar warga Jakarta dan Bodetabek kembali ke ibukota Indonesia untuk mengadu nasib selama setahun lagi.