TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dampak politik identitas masih jadi ancaman besar dan paling bahaya di pelaksanaan pesta demokrasi, termasuk Pilkada 2020.
Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menyatakan demikian karena bercermin dari praktik politik identitas yang sempat terjadi di Pilkada DKI 2017.
Menurutnya situasi yang terjadi 3 tahun lalu itu hingga kini masih dirasakan dampaknya oleh masyarakat luas.
Publik yang terbelah masih belum bisa dihilangkan.
"Tidak selesai setelah gubernur ditetapkan di DKI Jakarta, sampai sekarang hampir belum bisa sembuh luka akibat politik identitas yang begitu marak dalam Pilkada DKI Jakarta," kata Ray dalam diskusi virtual yang digelar Kamis (13/8/2020) kemarin.
Baca: PAN Usung Gibran di Pilkada Solo Tak Ada Kaitannya dengan Pemerintahan Jokowi
Ia bahkan mengatakan politik identitas lebih berbahaya dibanding politik uang.
Pasalnya politik uang hanya bersifat sementara waktu sesuai keadaan, praktik politik uang juga tidak pernah berujung kekerasan.
Namun kondisi berbeda terjadi pada praktik politik identitas.
Selain berdmpak meluas dan berkepanjangan, politik identitas lebih rawan bersinggungan dengan kekerasan.
Kebijakan yang diambil oleh kepala daerah yang memainkan politik identitas tidak akan bisa menyembuhkan keterbelahan di tengah masyarakatnya.
"Seperti yang dijalani Anies Baswedan di DKI Jakarta, betapa dia mengakui bahwa semua produk aturan yang dikeluarkan oleh beliau tidak ada yang bernuansa intoleransi tetapi tidak semerta-merta itu bisa menyembuhkan luka akibat dari politik identitas yang begitu marak terjadi di Pilkada DKI 2017," ungkap Ray.
Bawaslu RI jadi garda terdepan dalam melakukan pengawasan sekaligus mencegah politik identitas terjadi.
Sebab menurut Ray, partai politik hanya peduli isu politik identitas jika hal tersebut merugikan kubu mereka.
Tapi bila isu itu cenderung menguntungkan, maka partai politik justru memanfaatkannya.
"Ini kejadian di DKI Jakarta, mereka merasa korban dari politik identitas sehingga mereka teriak-teriak.
Sehingga politik identitas itu ditinggalkan, tetapi di tempat yang lain mereka salah satu penggunanya, itulah yang kita lihat secara umum kepada partai-partai," pungkas dia.