"Dulu ngontrak sama Pak Rubiyo. Semenjak suami saya enggak ada, jadi ngikut mulung di tempat Pak Rubiyo. Biaya kontrakan digratiskan," ungkapnya.
Dalam sehari, Hasnah memulung sebanyak dua kali. Ia berangkat mulai pukul 05.30 WIB hingga pukul 07.30 WIB. Kemudian pukul 15.30 WIB sampai 17.00 WIB membelah permukiman dan jalan raya Ibu Kota.
Namun, Hasnah jarang menuai untung lebih dari hasil mengais sampah di jalanan.
Malahan, pemasukannya kadang terkuras untuk biaya makan, jajan dan listrik setiap bulan.
Ia pun tak ada pilihan selain berutang.
"Ini aja sudah minjem lagi ke pak Rubiyo," ungkap perempuan yang tinggal di bedeng reot berdinding triplek itu.
Warga kampung pemulung Pondok Labu lainnya, Yani (32) juga senasib dengan Hasnah.
Ia tampak duduk di depan balai pertemuan warga sambil menyuapi dengan nikmat semangkuk bakso yang dicampur nasi bersama anaknya.
Yani bersama suaminya sudah empat tahun meninggalkan Klaten, Jawa Tengah demi mengadu nasib menjadi pemulung.
Di kampung pemulung, Yani juga menjadi anak buah Rubiyo.
Ia kerap kali dipinjami uang untuk biaya makan oleh pelapak tersebut.
Namun, sistem semacam ini ibarat gali lobang tutup lobang.
Sebab, hasil memulung dalam sebulan saat pandemi terkadang tidak cukup untuk melunasi utangnya.
Yani bahkan kembali berutang untuk biaya hidup selanjutnya setelah baru melunasi utangnya kepada Rubiyo.
"Kemarin udah minjem uang Rp 500 ribu buat makan. Itu pun masih kurang buat makan. Kalau dapatnya Rp 520 ribu sekali nyetor, untung 20 ribu. Nanti minjem uang Rp 500 ribu lagi" ujarnya.