Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dionisius Arya Bima Suci
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjadi kota terpadat di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi DKI Jakarta.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 11 juta orang dan luas wilayah hanya 662,33 kilometer persegi menjadikan masalah sampah dan ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) persoalan yang sulit diselesaikan.
Ditambah 13,3 juta sepeda motor dan 3,5 juta mobil pada 2020 serta kendaraan bermotor dari wilayah penyangga DKI, tentu menjadi persoalan emisi karbon.
Belum lagi sejarah Jakarta sejak zaman kerajaan yang memiliki topografi rawan terhadap bencana hidrometeorologi, seperti banjir.
Meski banyak persoalan yang muncul, bukan berarti hal itu tak bisa diselesaikan dengan baik.
Pemprov DKI telah dan terus melakukan transformasi digital untuk menjadi kota yang saling terkoneksi antarmasyarakat, masyarakat dan pemerintah, masyarakat dan bisnis, bisnis dan pemerintah, sehingga menjadi sebuah ekosistem digital.
Pemprov DKI sebagai kolaborator dan masyarakat sebagai co-creator menggunakan teknologi digital untuk menghasilkan inovasi dan kolaborasi untuk memperkuat kenyamanan dan kebahagiaan warga Jakarta.
JAKARTA CITY 4.0
Permasalahan kompleks kota-kota besar di dunia, termasuk Jakarta hanya dapat diatasi melalui kolaborasi.
Berbasiskan data besar (big data) dengan penggunaan teknologi sebagai infrastruktur akan sangat membantu Jakarta dalam mengatasi berbagai persoalan sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kepada warganya.
Teknologi digital yang akan mengolaborasikan dan menghubungkan seluruh elemen masyarakat di Ibu Kota.
Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik DKI Jakarta Atika Nur Rahmania menerangkan, sebagai Kota Cerdas (Smart City) melalui City 4.0, bukan sekadar teknologi, tetapi pengembangan ekosistem dengan berbagai entitas yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu inovasi dan kebahagian warga DKI.
Untuk bertransformasi menjadi kota kolaboratif melalui teknologi digital Pemprov DKI tidak lagi melakukan pendekatan secara biasa (business as usual).
Kini, pendekatan yang digunakan dilakukan secara terbuka dan didorong oleh kebutuhan warganya menggunakan data besar yang diolah dengan teknologi digital, sehingga menjadi sebuah proses bisnis yang terstruktur.