Lebih lanjut, Justin mengusulkan Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk segera memperbanyak uji emisi gratis untuk kendaraan di Jakarta atau kendaraan dari daerah Bodetabek yang masuk ke Jakarta.
Justin mengungkapkan, berdasarkan data BPS Tahun 2021, ada sekitar hampir 20 juta kendaraan yang ada di Jakarta.
"Angka ini sangat besar sebagai salah satu penyumbang emisi di Jakarta."
"Kita harus tegas, semua kendaraan yang menghasilkan polusi atau gas buang di luar ambang batas tidak semestinya dibiarkan," ungkapnya.
Baca juga: Minimalisir Dampak Perubahan Iklim, Upbit Indonesia Dorong Jejak Nol Emisi Karbon
Selain itu, Justin juga meminta untuk DLH melakukan pengecekan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari semua pabrik dan tempat usaha yang menghasilkan polusi udara di Jakarta.
"Termasuk melakukan penindakan untuk pelaku usaha yang menghasilkan polutan diluar batas aman. Jika perlu juga bekerja sama dengan daerah penyangga, karena polusi udara tidak memiliki batasan wilayah," ujarnya.
"Jangan sampai masa depan generasi penerus Jakarta terkena penyakit saluran pernapasan, akibat ketidakmampuan Pemprov DKI Jakarta mengatasi permasalahan polusi udara ini," pungkasnya.
Tanggapan Menteri Lingkungan Hidup
Sementara itu Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK) Siti Nurbaya Bakar menanggapi persoalan kualitas udara di Ibu Kota DKI Jakarta yang beberapa kali disebut jadi yang terburuk di dunia.
Diberitakan Kompas TV, Siti menyebut yang terpenting adalah menindaklanjuti hasil analisis soal kualitas udara tersebut.
"Itu kan hasil monitoring analisis pakai metode tertentu dari swasta, ada istrumen yang dia pakai, saya tidak bermaksud membela diri tetapi kita lihat dari metode yang biasa dipakai," ujar Siti di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (20/6/2022).
Menurut dia, ada perbedaan metode yang digunakan untuk mengukur kualitas udara di masing-masing lembaga.
Termasuk KLHK Jakarta yang menurutnya memiliki metode dan analisis yang lain.
Hasilnya pun menunjukkan kualitas udara Jakarta bukan yang terburuk di dunia.
"Nanti saya kasih data analisisnya. Bahwa pada saat yang sama, DKI bukan yang sekian itu, nomor 44."
"Jadi sebetulnya buat saya itu hanya ukuran dan indikator. Dan kita paling penting adalah kita lihat metodenya apa sih yang dipakai. Selain itu apa tindaklanjutnya. Itu yang paling penting," tambahnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto/Dionisius Arya BS)