"Di dalam Raperda Pasal 4, terdapat ada kemitraan. Itu kemitraan dalam bentuk apa? harus di jelaskan secara detil, jangan lantas nanti malah masyarakat yang harus menanggung resiko akibat yang ditimbulkan oleh pemerintah. Kondisi ekonomi masyarakat enggak semuanya sama. Bagi orang yang berpenghasilan berlebih mereka mampu membayarnya, tapi bagi orang ekonomi ke bawah bagaimana nasibnya? Jadi saya meminta dalam menyusun Raperda itu harus sama semangatnya, libatkan masyarakat, tanya pendapat masyarakat mengenai tarif yang akan diterapkan, kemudian tentang 25 ruas jalan yang akan diterapkan ERP ini apakah mereka setuju?," tuturnya.
Kent pun meminta Pemprov DKI untuk meningkatkan peran lurah dan camat untuk melakukan sosialisasi terkait dengan ERP tersebut.
Baca juga: Tolak Sistem ERP, Pengemudi Ojek Online: Kami Sudah Bayar Pajak, Masa Harus Bayar Jalan Lagi
Selain itu, Ibukota belum bisa mengikuti negara-negara maju dengan menerapkan kebijakan ERP itu.
"Kalau mau lebih tepat sasaran untuk bisa tingkatkan peran lurah dan camat suruh jalan lakukan pendekatan dengan warga melalui forum RT dan RW, karena RT dan RW inilah yang lebih mengenal warganya. Menurut saya Jakarta belum bisa mengikuti negara-negara maju dengan langsung menerapkan kebijakan ERP ini, harus melakukan banyak sekali kajian-kajian lebih mendalam. Pelayanan publik mereka sudah selesai, kemudian pajak kendaraan bermotor ditinggikan harganya, otomatis orang enggak akan mau beli kendaraan bermotor, karena mahal dan lebih memilih naik transportasi umum, kalau Jakarta sudah dalam kondisi seperti ini barulah pantas menerapkan ERP di 25 ruas jalan, kalau gak percaya coba silahkan di cek dan di kaji kembali, bener gak omongan saya," ujarnya.
Kent pun mencontohkan lalu lintas di Singapura, di negara yang berlambang Merlion itu warganya jarang membawa kendaraan pribadi mereka lebih mengandalkan transportasi umum.
"Di Singapura itu mencari parkir susah, harga kendaraan mahal, jadi membuat mereka enggan membawa kendaraan pribadi, tetapi apa? pelayanan publik mereka sudah sudah selesai, transportasi massalnya sudah tersistematis dan terintegrasi. mereka cukup membeli satu kartu sudah bisa kemana-mana, sangat strategis. Orang keluar rumah sudah bisa langsung ke tempat yang mereka tuju, dari sisi keamanan dan kenyamanan warga yang memakai transportasi umum ini juga sudah maksimal" tutur Kent.
Namun, satu hal yang membuat Kent merasa sangat khawatir lagi, jika Pemprov DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya tetap keukeuh meresmikan kebijakan ERP di 25 ruas jalan, kemacetan akan terjadi di sejumlah jalan-jalan non protokol dan hanya memindahkan kemacetan.
"Jika tetap ngotot pemberlakukan ERP di 25 ruas jalan, itu hanya memindahkan lokasi kemacetan saja. Saya yakin kendaraan roda empat maupun roda dua akan mencari jalan alternatif lain dengan melintas di jalan-jalan lingkungan yang terdapat di permukiman padat penduduk atau kata lainnya jalan tikus, ini pasti akan menimbulkan masalah baru. Warga yang tinggal di perkampungan atau permukiman padat pasti akan komplen dan marah besar. apakah sudah di pikirkan resiko yang akan terjadi?" tutur Ketua IKAL PPRA LXII Lemhannas RI ini.
Terkait masalah driver ojek online hingga kurir paket, kata Kent, hal tersebut seharusnya bisa dikomunikasian dengan pihak provider, jangan sampai pembayaran ERP malah dibebankan kepada ojek online yang penghasilannya tidak seberapa, ditambah lagi harus membayar setiap melintas di 25 ruas jalan tersebut.
"Menindaklanjuti kegalauan kawan-kawan ojol dan kurir yang melakukan demonstrasi di halaman DPRD terkait kebijakan penerapan tarif ERP kemarin, bahwa sebenarnya masalah ini bisa dibicarakan antara provider dan pemprov DKI. Seyogyanya provider yang harus menyiapkan, mereka harus bisa mengikuti perkembangan zaman dong. Bisa melakukan komunikasi yang solutif dengan Pemprov terkait kebijakan ERP ini, jangan malah tarif tersebut dibebankan kepada kawan-kawan ojol atau kurir. Hal itu dilakukan agar semua bisa berjalan dengan baik dan tidak menambah beban kawan-kawan kurir atau ojol di kemudian harinya," katanya.
Kent pun mempertanyakan soal transparansi dalam penerimaan tarif ERP tersebut. Ia khawatir hal tersebut akan dijadikan lahan korupsi baru bagi sejumlah oknum yang memanfaatkan momen tersebut.
"Penerimaan tarif ERP ini harus transparan, jangan sampai nanti malah menjadi lahan korupsi baru, tolong jelaskan dan sampaikan ke publik untuk apa uang ini. Jadi peran serta kelibatan masyarakat juga harus ada dalam hal ini agar semua jelas dan transparan," lanjut Kent.
Oleh karena itu, Kent pun meminta kepada Pemprov DKI Jakarta, Dinas Perhubungan dan Polda Metro Jaya agar mengkaji secara mendalam, mengenai peraturan ERP tersebut sebelum nantinya benar-benar diterapkan di Ibukota.
Karena peraturan tersebut akan berdampak sistemik dalam keberlangsungan hidup di Jakarta.
Baca juga: Perbedaan ERP dan Jalan Tol, Mulai dari Sistem Pembayaran hingga Penetapan Tarif