Laporan Wartawan Tribunnews, Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa hari terakhir kualitas Jakarta menjadi topik yang trending di media sosial hingga pemberitaan media lokal sampai luar negeri.
Indonesia terus masuk di dalam daftar 10 kota dengan udara paling tercemar di dunia sejak Mei 2023 hingga baru-baru ini.
Bahkan baru-baru ini, catatan di laman IQAir sempat menunjukkan indeks kualitas udara di DKI Jakarta masih masuk kategori lima besar terburuk di dunia. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).
Berdasarkan data IQAir per 16 Agustus lalu, misalnya, empat kota dengan kualitas udara terburuk dunia terdiri dari Baghdad di peringkat pertama, Doha di peringkat kedua, Kuching di peringkat ketiga, dan Jakarta di peringkat keempat.
Kualitas udara yang buruk ini tentu menjadi perhatian banyak pihak, termasuk pemerintah.
“Dengan kualitas udara yang buruk, maka kondisi ini berpengaruh terhadap semua orang yang beraktivitas di DKI Jakarta dan tak bisa dipungkiri padatnya kendaraan bermotor di jam kerja dan pulang kantor memiliki kontribusi dalam hal ini,” jelas Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (Ketum BPP) HIPMI Akbar Himawan Buchari di Jakarta (22/8/2023).
CEO Saka Group dengan bisnis yang membidangi properti, konstruksi, serta perkebunan itu melanjutkan, kendaraan bermotor menyumbangkan 44 persen dari pemicu polusi udara di Ibu Kota.
Angka tersebut dikontribusi oleh motor hingga mobil pribadi yang menggunakan bahan bakar bensin serta solar terus memenuhi jalan-jalan protokol di Ibu Kota setiap hari kerja.
Baca juga: Emil Salim Kritik Kendaraan Listrik, Hanya Menggeser Konsumsi Minyak Bumi ke Batu Bara
“Dari situasi inilah maka terdapat urgensi pengalihan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik atau electric vehicle. Berdasarkan kalkulasi dari PLN disebutkan bahwa satu liter BBM yang digunakan kendaraan bermotor menyumbangkan sekitar 2,4kg CO2e dan 1,2 kWh kendaraan listrik hanya 1,3 kg CO2e. Dari sini bisa dilihat bahwa emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan listrik mampu diperkecil,” sambung Akbar.
Ia mengatakan, urgensi pengalihan ke kendaraan listrik ini juga datang dari kondisi para pekerja dari kota-kota satelit Ibu Kota.
Baca juga: Komisaris Pertamina Dukung Pengembangan Mobil Hybrid Ketimbang Kendaraan Listrik, Ini Alasannya
Di mana mereka setiap hari bekerja di Jakarta dan tampaknya memprioritaskan penggunaan kendaraan pribadi dibandingkan menggunakan kendaraan umum.
“Jika memang tidak ingin menggunakan transportasi umum, maka kendaraan listrik dapat menjadi langkah tepat untuk memperbaiki kualitas udara DKI Jakarta. Selain itu, langkah ini tentu saja dapat berkontribusi dalam mendukung upaya hilirisasi baterai dan kendaraan listrik di Indonesia,” ucapnya.
Akbar mengatakan juga terkait bagaimana polusi udara ini mempengaruhi dan mengganggu kinerja pemerintahan, maka pemindahan Ibu Kota ke Ibu Kota Nusantara (IKN) juga semakin penting. Mengingat ini akan mengurangi beban padatnya transportasi di DKI Jakarta.
Baca juga: Polusi Udara Memburuk, Mantan Menteri LHK Dorong Percepatan Transisi Kendaraan Listrik
“Saya setuju dengan pandangan Presiden Jokowi, beliau menjelaskan bahwa polusi udara bisa lebih dikendalikan usai pemerintahan pusat secara resmi berkantor di IKN. Karena semua pegawai hingga pejabat tinggi pemerintahan akan bekerja di sana sehingga ini mengurangi volume kendaraan bermotor di jalanan DKI Jakarta."
"Selain itu dari sisi kesehatan, udara di IKN tentu kualitasnya jauh lebih baik berkat wilayahnya yang berada di kawasan hutan hujan tropis dan dibandingkan di DKI Jakarta yang memiliki wilayah hijau sangat terbatas akibat permukiman serta gedung-gedung,” pungkas Akbar.