TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selasa, 29 Oktober 2024 lalu, Santi Handiyani (40) merasakan sakit kepala begitu hebat. Saking sakitnya, ia bahkan kesulitan menggerak-gerakkan kepalanya.
Wanita 40 tahun itu sempat bertanya-tanya dalam diri mengapa tiba-tiba kepalanya berdenyut dan terasa sakit begitu hebat seharian itu.
Yah, Santi Handiyani merupakan saudari kembar dari Sinta Handiyani, wanita korban pembunuhan dan mutilasi yang jasadnya ditemukan di dermaga Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Selasa, 29 Oktober 2024.
Sinta Handiyani tewas dibunuh dan dimutilasi oleh teman dekatnya, tukang jagal sapi dan kambing bernama Fauzan Fahmi (43).
Warga menemukan jasad wanita tanpa kepala dari Santi di dalam karung di semak-semak sekitar dermaga Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Selasa (29/10/2024).
Sedangkan potongan kepala Sinta ditemukan di Jalan Inspeksi Waduk Pluit, Jakarta Utara, pada Rabu (30/10/2024) dinihari.
Dari penyelidikan polisi, motif tersangka Fauzan Fahmi melakukan perbuatan keji itu karena sakit hati dengan ucapan korban yang menyebut istri sahnya saat ini sebagai pelacur.
Baca juga: Ternyata Sinta Korban Pembunuhan Tanpa Kepala di Muara Baru Punya Kembaran Bernama Santi
Tribunnews bertemu saudari kembar dari korban, Sandi Handiyani, di rumah orang tua mereka sekaligus rumah duka di Kampung Babakan, RT 03 RW 004, Kelurahan Binong, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, Banten, pada Jumat (1/11/2024) siang.
Santi menceritakan rasa sakit kepala begitu hebat pada saat penemuan jasad saudari kembarnya.
"Pas Selasa, saya pikir cuma pusing biasa, kepala saya dari pagi enggak bisa digerakkan sampai malam. Sakit benar-benar sakit, sakit. Sakitnya itu seluruh kepala, pusing," ungkap Santi saat ditemui Tribunnews.
Untuk mengurangi rasa sakit kepalanya saat itu, Santi mengaku sampai melakukan beberapa upaya.
Dia meminum obat pereda sakit kepala hingga dua butir. Tak hanya itu, ia pun diurut hingga tubuhnya dikerik oleh sang suami, Amin.
Namun, sakit kepala yang ia rasakan itu itu tak kunjung reda.
Amin yang duduk di samping Santi membenarkan kejadian yang dialami istrinya itu.
Baca juga: Sopir Truk Ugal-ugalan di Tangerang Melawan saat Dikepung Massa, Kunci Ban jadi Senjata
Belakangan Santi menyadari sakit kepala hebat yang ia rasakan pada hari Selasa itu ternyata sebuah firasat.
Firasat bahwa ada sesuatu yang terjadi pada saudara kembarnya, Sinta Handiyana.
Ketika Santi mengalami sakit kepala yang begitu hebat itu, saat itu pula mayat Sinta yang sudah tanpa kepala ditemukan di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara.
Terlahir Kembar dan Besar Terpisah
Santi pun berbagi cerita kepada Tribunnews perihal dirinya dan korban.
Ia mengaku dirinya dan korban merupakan anak kembar dari enam bersaudara.
Dirinya dan Sinta Handiyani terlahir kembar di Babakan, Kabupaten Tangerang, pada April 1984 lalu.
Sinta lahir terlebih dahulu atau anak pertama, hanya berselang lima menit dari Santi.
"Ya, saya dan Sinta anak kembar," ujar Santi.
Santi mengaku masih belum percaya saudara kembarnya meninggal dengan tragis yakni dimutilsasi oleh pelaku bernama Fauza Fahmi.
"Saya sebelum dengar namanya, enggak mungkin. Pas polisi nyebut namanya baru kaget, 'masa sih'," tutur wanita berkerudung itu.
Baca juga: Update Kasus Guru Supriyani: Kades Bongkar soal Uang Damai Rp50 Juta, Sebut Akal-akalan Oknum Polisi
Santi kemudian memperlihatkan sebuah foto yang menjadi kenangannya bersama Sinta semasa kepada Tribunnews.
Dalam foto tersebut keduanya mengenakan gamis dan kerudung seragam berwarna merah muda.
Di foto itu, Sinta tampak merangkul sang adik. Keduanya tersenyum dalam foto mode portrait tersebut.
Santi kemudian menceritakan, saat masih kanak-kanak, ia dan Sinta tinggal terpisah.
Sinta tinggal di rumah orang tua mereka di Kabupaten Tangerang, dan Santi tinggal di kediaman neneknya, di Jakarta.
Pemisahan tempat tinggal mereka, kata Santi, dikarenakan alasan ekonomi orang tua mereka.
Meski demikian, sebagai kakak dan adik, mereka tetap selalu main berdua.
"Paling kalau saya lagi libur sekolah, saya dijemput orang tua saya buat ke sini," ujar Santi.
Namun, saat dewasa, karena kondisi masing-masing yang sudah menikah, pertemuan mereka pun tak lagi sesering dulu.
Terlebih, jarak kediaman mereka yang juga terpaut jauh, di mana mendiang Sinta tinggal di Kabupaten Tangerang, Banten dan Santi di Depok, Jawa Barat.
Sang Ayah Murung dan Gelisah
Rumah orang tua korban berada di Kampung Babakan, RT 03 RW 004, Kelurahan Binong, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, Banten.
Sementara, tempat tinggal korban, Sinta, adalah berupa kontrakan petak, yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah orang tuanya.
Di rumah kontrakan itu lah Sinta tinggal bersama empat orang anaknya yang seluruhnya belum ada yang berkeluarga
Adapun rumah orang tua Sinta berada di dalam gang yang berada di samping masjid tepat di seberang gang rumah kontrakan Sinta.
Dari depan gang tersebut menempel sebuah bendera kuning yang diikat pada sebuah tiang bambu menggunakan seutas tali.
Bendera kuning juga tampak di depan pagar rumah orang tua Sinta yang berwarna hitam.
Baca juga: Update Kasus Judi Online di Komdigi: Tersangka Bertambah 3 Menjadi 14 Orang, Ketiganya Warga Sipil
Di rumah orang tua korban itu lah menjadi rumah duka, dimana keluarga, sanak-saudara dan tetangga berdatangan.
Beberapa di antara mereka memasukkan uang ta'ziah ke dalam sebuah baskom yang ditutup sehelai kain dan diletakkan di samping salah satu pilar rumah berwarna hijau dan hitam.
Kursi-kursi plastik yang disediakan untuk para pelayat tampak diduduki oleh beberapa sanak keluarga Sinta.
Satu di antara mereka yang duduk adalah Ni'am, ayahanda dari Sinta.
Kesedihan masih terlihat dari raut wajah Ni'am yang murung. Ia tampak gelisah menunggu kedatangan jasad putri sulungnya.
Kegelisahan itu tercermin dari gerak-geriknya yang berpindah-pindah posisi dari duduk di bangku plastik tersebut ke beberapa sudut rumah, hingga membaringkan diri di teras rumah yang lebih mirip seperti pendopo.