News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tawuran Pelajar

Tawuran Pelajar Akibat Elite Kerap Pertontonkan Intoleransi

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Anwar Sadat Guna
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Polisi membawa barang bukti sepatu dan ikat pinggang milik korban yang tertinggal di lokasi terjadinya perkelahian antarpelajar di Manggarai, Jakarta Selatan, Rabu (26/9/2012). Tawuran yang melibatkan pelajar dari sekolah Kartika Zeni dengan Yayasan Karya 66 ini membuat satu orang pelajar tewas dan dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. KOMPAS IMAGES/VITALIS YOGI TRISNA

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hasanuddin Aco

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum DKN Garda Bangsa, organisasi sayap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), M Hanif Dhakiri, merasa prihatin atas maraknya peristiwa tawuran pelajar yang sampai memakan korban jiwa.

Hanif berharap, seluruh pihak yang terkait diharapkan segera mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi agar tawuran antarpelajar ini tidak terulang kembali.

“Banyak faktor yang menyebabkan seringkali terjadi tawuran antarpelajar,” kata Hanif kepada wartawan di Jakarta, Kamis (27/9/2012).

Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKB ini berpendapat tawuran terjadi karena semakin memudarnya faktor keteladanan sosial di dalam masyarakat.

“Terlebih elit masyarakat kerap mempertontonkan intoleransi sosial. Sehingga dengan atau tanpa disengaja banyak berpengaruh terhadap aksi dan tindakan brutal para pelajar atau remaja,” papar Hanif.

Kemudian, lanjut Hanif, menggejalanya tindak kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru kepada siswa maupun kekerasan yang terjadi di antara mereka seperti menjadi faktor pemicu munculnya lingkaran setan kekerasan.
“Dimana kekerasan yang ditimbulkan akan melahirkan kekerasan berikutnya,” jelas Sekretaris F- PKB ini.

Faktor lainnya adalah lemahnya penanaman nilai pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan moral dan agama mendapatkan tempat yang tidak proporsional dan terlampau sedikit dibandingkan pelajaran lain.

“Ironisnya, pendidikan moral keagamaan hanya bersifat formalistik, sangat terbatas dan hanya menjejalkan pengetahuan nilai tanpa mengarah ke pembentukan karakter,” katanya.

Hanif memaparkan, ditinjau dari segi usianya, pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA memang sedang mengalami periode yang sangat potensial bermasalah.

Pada fase ini, pelajar atau remaja sering digambarkan sebagai topan dan badai atau
storm and drang yang mudah tersulut emosi dan mengalami tekanan jiwa.

Sehingga perilaku mereka mudah menyimpang.
Dalam situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas.

Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu tawuran.

Selain hal-hal tersebut di atas, ruang berkreasi bagi para pelajar untuk menyalurkan hobi, bakat dan minatnya justru sangat terbatas dan tergerus oleh hiruk pikuk bisnis, termasuk di dalamnya adalah ruang publik yang bernama televisi.

Kecenderungan ruang publik (televisi) yang menjejali para remaja (dan publik pada umumnya) dengan nilai-nilai dan budaya materialism, hedonisme, konsumerisme bahkan tayangan-tayangan kekerasan fisik lainnya tak jarang menjadi pemicu gagalnya internalisasi diri siswa/pelajar dalam menyelesaikan masalah-masalah di sekelilingnya.

Alhasil, tindakan brutal di setiap tawuran adalah jawaban dari kegagalan pelajar dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan yang semakin kompleks.

Atas dasar itu, DKN Garda Bangsa memandang perlu adanya tindakan para elit masyarakat dan pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk melakukan upaya-upaya, di antaranya menghadirkan figur yang baik dan mentradisikan sikap santun, sebagai contoh dan suri tauladan bagi para remaja demi terciptanya suasana harmonis, toleran, saling menghormati, dan mengsihi antar sesama.

“Kami juga mendesak pemerintah dalam hal ini Depdikbud untuk membuat kebijakan-kebijakan di sekolah yang disertai dengan sistem pengawasan intensif dan terukur untuk mencegah dan menghentikan praktik bullying di sekolah,” kata Hanif.

Kemudian mendorong lembaga pendidikan/sekolah agar berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar serta mengefektifkan kegiatan keorganisasian, ruang berkreasi, baik intra maupun ektstra kurikuler sekolah yang aksesibel untuk semua.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini