TRIBUNNEWS.COM - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dinilai harus pulang ke Mertoyudan, Magelang, sebagai tempat di mana lembaga negara itu dilahirkan. Hal itu merupakan cara bijak dan sekaligus rendah hati agar kasus-kasus yang menimpa lembaga Polri itu terselesaikan secara spirit. Yang dimaksud dengan Mertoyudan adalah Seminari Menengah St. Petrus Kanisius, Mertoyudan yang merupakan “rumah bersalin” dan bahkan induk semang Polri yakni pada 1946-1948.
Demikian diungkapkan KH. Maman Imanulhaq, tokoh muda karismatik Jawa Barat dan sekaligus pengasuh pesantren Al Mizan, Majalengka, Jabar pada Jumat (19/10/2012). Pernyataannya tersebut untuk menanggapi, keterpurukan Polri yang terus menerus didera berbagai masalah kecil hingga besar dan seakan-akan masalah tersebut tidak pernah akan surut. Selain kasus Polri vs KPK, ketidaksukaan masyarakat terhadap Polri diwujudkan dengan penolakan mahasiswa Universitas Pamulang, Tangerang yang berakhir dengan bentrokan.
Dikatakannya, dalam paham budaya timur termasuk Sunda dan Jawa, orang hidup memiliki masa pasang dan masa surut. Sebuah persoalan tidak menjadi perhatian ketika masa orang tersebut sedang pasang. Namun ketika masa hidup seseorang surut, masalah sekecil apapun harus diperhatikan agar tidak menjadi sumber dari masalah yang besar dan tidak terselesaikan.
“Ketika hidup berada pada masa surut itulah biasanya dijadikan masa untuk refleksi dan menengok ke belakang seberapa jauh sudah berjalan dan bagaimana bentuk hidup yang sudah dijalani. Dan kalau perlu, seseorang harus kembali kepada orangtuanya, tanah kelahirannya untuk mendapatkan spirit dalam menyelesaikan seluruh masalah hidupnya,” jelas Maman Imanulhaq.
Tokoh pluralisme nasional ini melanjutkan bahwa, kembali ke orangtua atau tanah kelahirannya juga dilakukan ketika orang akan naik ke tingkat hidup yang lebih tinggi seperti ketika hamil, menikah atau bahkan ketika meninggal saja, ada pesan khusus untuk dimakamkan di tanah kelahirannya meskipun yang bersangkutan sudah puluhan tahun merantau. Tentu, budaya seperti ini, lebih berlaku ketika hidup seseorang sedang dalam masa surut, masa terpuruk.
“Ini menunjukkan secara spirit, ada hubungan yang tidak bisa dipisahkan antara manusia, orang tua dan tanah kelahirannya. Dalam masa surut seperti ini dengan berbagai kasus yang menimpanya, Polri disarankan pulang ke Seminari St. Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang dan mengakui tanah kelahirannya. Ini seperti almarhum Franky Sahilatua yang mengajak bangsa Indonesia kembali ke rumahnya yaitu Pancasila yang dituangkan dalam lagunya berjudul Pancasila Rumah Kita,” tegasnya.
Terkait kasus yang mendera Polri saat ini, Maman Immanulhaq yang juga Kordinator KOMPAK menjelaskan, seharusnya tidak ada rivalitas antar lembaga dalam pemberantasan korupsi. KPK harus menghargai Polri mengingat Polri itu lembaga negara terus melakukan reformasi di tubuhnya. Sikap menghargai KPK terhadap Polri memberikan motivasi kepada Polri untuk bersikap bersih, kuat dan berwibawa.
Harus diakui, negara ini tidak akan kuat tanpa Polri. Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga harus membantu Polri untuk bangkit dari keterpurukan. Sementara kepulangan Polri kembali ke tanah kelahirannya bisa dijadikan momentum untuk sikap refleksi atas sejarah panjangnya selama 66 tahun.
Seminari Menengah Mertoyudan, lanjut Maman yang juga aktivis HAM, adalah tempat pendidikan calon pastor atau romo (pemimpin agama Katolik). Seminari itu adalah tempat yang disakralkan sebagaimana pesantren karena tempat pendidikan para calon pemuka. Pada tahun 1946, Polri dilahirkan di tempat ini yang hingga sekarang masih berdiri tegak. Kelahiran Polri di Seminari Mertoyudan itu adalah sejarah dan hingga kapanpun Polri tidak bisa mengingkari sejarah kelahiran ini.
“Insya Allah, dengan kembali ke tanah kelahirannya, secara spirit kasus-kasus Polri dapat terbantu terurai. Terurai seperti apa, biarlah sejarah yang akan menentukan,” tandasnya.
Cikal bakal Kepolisian Republik Indonesia pada 17 Juni 1946 berdasarkan Keputusan Mendagri No. 12/9/22 Tahun 1946 pindah ke Mertoyudan yang sebelumnya dijadikan Markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ketika perang kemerdekaan. Dan di situlah secara resmi didirikan Kader Kepala Bagian Tinggi (Pendidikan Komisaris Polisi) dan Pendidikan Kader Kepala Bagian Menengah.
Gedung Seminari pada waktu itu digunakan untuk Sekolah Tinggi Bagian Menengah dan Tinggi Mertojudan (Sekolah Inspektur Polisi dan Akademi Polisi), Sekolah Komandan Inspestur Polisi (CI) angkatan Pertama, Sekolah Komandan Reserse Polisi (Angktan I & II) dan Sekolah Agen Polisi.
Adalah Bupati Kudus pada waktu itu, R Soebarkah yang ditunjuk sebagai Direktur Sekolah Polisi Negara (SPN) di Mertoyudan, Jawa Tengah pada 1946. Polri tinggal di Seminari Mertoyudan hingga 18 Desember 1948. Jenderal Hoegoeng Iman Santosa (alm), mantan Kapolri yang hingga saat ini menjadi patron Polri adalah lulusan Sekolah Tinggi Kepolisian Mertoyudan. Pada tanggal 1 Juli 1946 diputuskan sebagai Hari Lahir Polri. (*)