TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sikap Polri menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk pelimpahan kasus Simulator SIM ke KPK harus dihentikan. Pasalnya, jika hanya mengacu pada itu saja, maka sampai kapan pun tidak akan menemukan formula yang baik.
Demikian disampaikan Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaparta saat dihubungi wartawan, Minggu (21/10/2012). Gandjar menilai, upaya Polri tersebut juga patut dicurigai. Seperti pepatah ada udang di balik batu, bisa saja ada maksud tertentu dibalik tindakan mereka.
Karena Polri sebenarnya paham bahwa sumber hukum pidana formil bukan hanya KUHAP. Tetapi, ada undang-undang selain KUHAP yang di dalamnya mengatur ketentuan hukum pidana formil. "Dalam hal ini, UU KPK menjadi sumber di luar KUHAP. Atau Polri SP3 saja, dasarnya Pasal 109 ayat (2) KUHAP juncto Pasal. 50 ayat (4) UU KPK. Simple. Sederhana. Selesai." kata Gandjar.
Adanya pelimpahan penanganan kasus simulator ke KPK, kata Gandjar, bukan berarti mengabaikan apa yang telah dikerjakan selama ini oleh pihak Mabes Polri.
Namun, KPK itu dalam bekerja memang tidak terikat pada hasil penyidikan Polri. "Dalam hal ini cuma akan berganti (institusi) penyidik saja. Segala hal mengenai penyidikan berlaku, yaitu mengumpulkan alat bukti, mencari-menetapkan tersangka. Singkatnya ketika Polri berhenti menyidik, maka KPK menjadi penyidik satu-satunya atas kasus itu," kata Gandjar.