TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi menilai langkah mengegolkan Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat salah arah, dan bertentangan dengan perspektif hak asasi manusia karena mengekang kebebasan sipil berserikat.
Menurut Hendardi, dalam pernyataan bersama dengan Koalisi Kebebasan Berserikat dan Berekspresi (KBB) di The Wahid Institute, Jakarta, Jumat (2/11/2012), sebaiknya ruang berserikat dan berekspresi masyarakat sipil tak perlu diatur oleh RUU Ormas.
"Sebagai catatan kritis, paradigma RUU Ormas bertentangan dengan HAM yang menuntut kebebasan berserikat tanpa intervensi pemerintah. Negara tidak perlu bentuk RUU Ormas, cukup revisi undang-undang tentang yayasan atau undang-undang tentang perkumpulan," ungkap Hendardi.
Ia menyesalkan justifikasi sosiologis dipakai menggolkan RUU Ormas lantaran ada sebagian ormas yang melakukan tindak kejahatan seperti terorisme. Sebetulnya, mereka yang melakukan aksi melawan hukum, cukup ditangani lewat proses hukum, bukan dengan mengatur ormas lewat RUU Ormas.
"RUU Ormas ini semakin tidak jelas. Semangatnya ingin mengatur masyarakat. Sebetulnya yang tidak mau diatur itu pemerintah dan DPR. Kalau persoalannya ada dana asing, bukah kah sekarang yang dikorup pemerintah itu juga dari dana asing lewat utang," tegas Hendardi.
KKB melihat ada enam pasal penting mengapa RUU Ormas harus ditolak, salah satunya, definisi ormas yang sapu jagad seperti dalam pasal 1. Di mana ormas mencakup semua bentuk organisasi dalam sebua bidang kegiatan mulai agama, kepercayaan, hukum, sosial dan sebagainya.
Ruang lingkup yang luas ini berpotensi menjadi pasal karet bagi organisasi dengan isu tertentu misalnya LGBT, kelompok-kelompok aliran kepercayaan, kelompok masyarakat yang dianggap beraliran kanan atau kiri, atau yang kritis terhadap pemerintah.
Klik: