Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penanganan aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM, yang memakan korban terhadap Nugroho Anton seorang jurnalis Trans 7 di Jambi, yang menderita luka serius di bagian pelipis mata, disaat Polisi melepaskan tembakan saat mengamankan aksi dinilai tidak elegan.
"Ini menunjukan bahwa polisi dalam menangani demo tidak bertindak sebagai aparat negara, tetapi mengedepankan aparat penguasa," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane di Rumah makan Pondok Penus, TIM, Jakarta Pusat, Senin (17/6/2013).
Menurutnya, profesionalisme aparat kepolisian seperti yang terjadi di Jambi dan Ternate, menunjukan penanganan demo tidak sesuai SOP polisi.
"Pertama harus ada negosiasi, anggota Dalmas, pasukan bertameng, water canon dan gas air mata. Yang terjadi di Jambi dan Ternate langsung dihajar dengan water canon dan gas air mata," katanya.
Neta menegaskan di Jakarta, Surabaya dan Makassar, penanganan aksi demo bisa selesai dengan elegan.
"Tidak ada peluru karet di Jakarta, begitu juga di Makasar dan Surabaya. Mengapa sampai ada wartawan tertembak, padahal kerja wartawan dilindungi undang-undang. Kapolri harus mencopot Kapolda Jambi dan Maluku Utara. Forum Pemred harus segera bersikap ketika wartawan dihajar oleh polisi," tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, tertembaknya Nugroho Anton, berawal saat Jurnalis Trans7 itu melakukan peliputan aksi demonstrasi yang dilakukan ratusan mahasiswa yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Jambi menolak kenaikan harga BBM. Saat kondisi aksi tak terkendali, polisi melepaskan tembakan gas air mata ke arah demonstran yang didalamnya ada sejumlah Jurnalis, termasuk Nugroho Anton dari Trans7.
Saat itu juga, Nugroho yang tidak menyangka akan tembahan itu tersungkur dengan luka serius di pelipis mata hingga berdarah. Saat ini Nugroho Anton sedang ditangani di ruang operasi di RSUD Mat Tahir Jambi.