News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

RUU Ormas

Dinilai Otoriter, Muhammadiyah Tolak RUU Ormas

Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Aceh melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Banda Aceh, Jumat (12/4). Mereka membawa poster berisikan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Organisasi Masyarakat (Ormas). SERAMBI/M ANSHAR

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Muhammadiyah tetap menolak tegas pengesahan RUU Ormas. Alasannya, RUU Ormas memiliki paradigma totaliter dan menganut paham kekuasaan yang absolut.

Hal itu menjadi kontrol ketat kepada warga serta memposisikan rakyat sebagai obyek dan posisi negara menjadi superior.

"Padahal dalam persfektif sosiologi hukum setiap regulasi yang akan dirumuskan senantiasa mengakomodasi kepentingan dan dinamika rakyatnya, ini berarti harus terjadi simbiosis-mutualisme yakni adanya kemitraan strategis antara Masyarakat dan Negara," kata Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah Nadjamuddin Ramly dalam keterangan tertulis, Selasa (2/7/2013).

Meengenai definisi ormas, Nadjamuddin mengungkapkan terjadi kerancuan intelektual. Sebab mendefinisikan ormas sangat umum sehingga tidak memiliki kategorisasi sosiologis.

"Mana ormas yang sudah mapan, ormas yang programnya homogen, paguyuban, arisan, pengajian ibu-ibu di RT, geng motor, organisasi lokal, kesamaan hobi atau ormas yang baru berdiri tanpa tujuan tertentu, dan lain-lain," ujarnya.

Muhammadiyah juga melihat RUU Ormas diskriminatif, karena tidak mengatur ormas yang menjadi sayap Partai Politik. "Padahal mereka ormas bukan Parpol yang tidak diatur dalam UU Parpol," imbuhnya.

Nadjamuddin juga mengatakan RUU Ormas mengatur juga ormas yang berbadan hukum seperti Yayasan padahal UU Yayasan sudah ada. Sehingga RUU Ormas ini memposisikan dirinya sebagai RUU yang sangat superior.

"Soal pendaftaran RUU Ormas ini menjadikan dirinya sebagai Rezim Izin ,dengan sejumlah persyaratan yang rumit termasuk tidak boleh berpolitik, padahal seperti Muhammadiyah selalu berpolitik namun politik yang dilakukan Muhammadiyah adalah politik moral," imbuhnya.

Soal pendaftaran, Nadjamuddin menuturkan akan menjadi pasal karet serta akan menjadi alat pemukul bagi rezim yang berkuasa disetiap jenjang.

Terkait larangan dan sanksi, Muhammadiyah menilai RUU Ormas memuat pasal-pasal karet, karena secara subyektif rezim berkuasa di setiap jenjang bisa menjadikannya alat pemukul karena tidak melalui proses peradilan.

"Mereka bisa menghentikan kegiatan ormas secara sepihak hanya dengan Surat Peringatan satu, dua dan tiga, karena aturan-aturan yang dilanggar ormas hanya pemerintah terkait yang memutuskannya," tuturnya.

Jika ditelusuri lebih cermat, dapat dipastikan RUU Ormas ini membawa kembali negeri seperti yang pernah dialami di zaman otoriter dahulu, saat semua ormas dipaksa dan dizalimi untuk berazas tunggal.

Najamuddin menegaskan Muhammadiyah menganggap RUU Ormas tidak diperlukan dan juga tidak ada urgensinya dan tidak ada relevansinya karena bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945, karena RUU Ormas terlalu sempit dan sangat sektoral.

"Muhammadiyah menetapkan menolak tegas RUU Ormas ini karena RUU Ormas ini tidak mendesak dan menyarankan kepada pemerintah/DPR RI untuk menyusun RUU Perkumpulan sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 28 UUD 1945," ungkapnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini