TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gerakan Rakyat Tolak UU Ormas menyatakan, alasan pemerintah yang bertujuan untuk mengontrol dan menertibkan organisasi-organisasi masyarakat yang kerap melakukan kekerasan dan pengrusakan melalui UU Ormas sebuah kekeliruan dan mengada-ada.
"Persoalan kekerasan yang selama ini kerap dilakukan oleh ormas-ormas tertentu tersebut bukan merupakan persoalan normatif akibat kekosongan hukum, melainkan persoalan empirik atau problem penegakan hukum yang berumpu pada kinerja aparat penegak hukum," kata Alvon Kurnia Palma, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang juga merupakan bagian dari Gerakan Rakyat Tolak UU Ormas, di Kantornya, Kamis (18/7/2013).
Alvon menuturkan, selain bertentangan dengan konstitusi, UU Ormas telah menabrak aturan yang sudah ada, sehingga terjadi tumpang tindih aturan yang bersifat normatif dalam peraturan perundang-undangan. Alvon mencontohkan, seperti terhadap UU Yayasan dan aturan hukum tentang perkumpulan.
"Jika pemerintah merasa aturan tentang perkumpulan ataupun yayasan sudah tidak dapat menjawab persoalan hukum kekinian maka selayaknya aturan tersebutlah yang diperbaharui atau disempurnakan, bukan dengan membuat aturan yang bersifat multi tafsir seperti UU Ormas ini," pungkasnya.
Gerakan Rakyat Tolak UU Ormas antara lain terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), KontraS, LBH Jakarta, Wahid Institute, Greenpeace Indonesia dan Elsam.