TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto mengingatkan pemerintah Indonesia agar segera mengatasi melemahnya nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, jangan sampai terjadi krisis moneter seperti tahun 1998.
"Sudah sejak sepekan terakhir nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika menembus angka Rp 11.000. Ini harus menjadi peringatan bagi pemerintah," kata Endriartono di Jakarta, Rabu (28/8/2013).
Menurut Endriartono, nilai tukar rupiah yang menembus angka diatas Rp 11.000 sudah merupakan lampu kuning bagi pemerintah sehingga harus segera diatasi.
Ia menegaskan, jangan sampai nilai tukar rupiah terhadap dolar melampaui Rp 12.000, karena rawan terjadi krisis moneter seperti tahun 1998.
Mantan Ketua Dewan Pengawas PT Pertamina ini menjelaskan, ada beberapa hal yang menjadi pemicu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, antara lain, transaksi berjalan mengalami defisit karena terlalu banyaknya impor produk.
Indonesia, kata dia,adalah negara agraris tapi banyak hasil pertanian yang diimpor dari negara asing, mulai dari beras, kedelai, cabe, bawang, kentang, garam, dan sebagainya.
"Indonesia saat ini adalah importir beras dan kedelai terbesar di dunia," katanya.
Karena, bahan pangan di Indonesia tergantung pada asing, maka terlalu banyaknya impor sehingga nilai tukar rupiah melemah.
Faktor lainnya, kata Endriartono, Indonesia terlalu banyak mengimpor bahan bakar minyak (BBM) hingga mencapai 600.000 barel per hari.
Banyaknya impor BBM ini, membuat nilai tukar rupiah melemah sehingga transaksi berjalan mengalami defisit.
Endriartono mengingatkan, dulu Indonesia adalah salah satu negara eksportir minyak terbesar di dunia.
"Karena minyak bumi dieksploitasi besar-besaran, sehingga saat ini harus mengimpor dari negara lain," katanya.
Menurut Endriartono, kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus karena akan semakin menyulitkan masa depan Indonesia.
Ia menegaskan, calon pemimpin nasional Indonesia ke depan harus memiliki keberanian untuk melakukan substitusi energi dari BBM ke batubara dan gas.
"Indonesia memiliki sumber daya alam batubara dan gas sangat banyak tapi malah diekspor. Di sisi lain, Indonesia masih tergantung pada BBM padahal harus mengimpor dalam jumlah besar," katanya.
Ia menjelaskan, Indonesia saat ini adalah negara eksportir batubara terbesar di dunia serta eksportir gas.
"Kalau ada yang beranggapan bahwa batubara tidak ramah lingkungan karena ada polusi, bangsa Indonesia tidak perlu takut dengan polusi," katanya.
Endriartono menambahkan, jika dengan menggunakan sumber energi batubara Indonesia bisa melakukan penghematan anggaran sangat signifikan, jauh lebih baik dibandingkan dengan terus mengalami kesulitan anggaran.
Jika Indonesia bisa memanfaatkan sumber daya alamnya dan melakukan efisiensi anggaran, sekaligus melakukan perbaikan-perbaikan, maka pada suatu saat kondisi Indonesia akan menjadi lebih baik.
"Bangsa Indonesia bisa menjadi lebih sejahtera," kata Endriartono.