TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anas Urbaningrum angkat bicara terkait kritikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai adanya praktik politik dinasti yang menjamur di Indonesia. Ketua Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) itu menyebutkan, bahwa SBY menolak adanya sistem politik dinasti.
"Minggu lalu saya berseri-seri, ketika SBY mengkritik sistem dinasty, artinya secara nilai SBY setuju dengan sistem meritokrasi. Itu artinya SBY percaya dengan nilai dan prinsip meritokrasi. Untuk itu saya berseri-seri, berarti SBY cocok dengan PPI," ujar Anas dalam dialog Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) bertema Dinasti Versus Meritokrasi Politik, di rumah pribadinya, Duren Sawit, Jakarta Timur, Jumat (18/10/2013).
Menurut Anas, untuk membangun demokrasi yang sempurna, sistem meritokrasi harus diutamakan. Hal tersebut diperlukan dalam proses rekuitmen jajaran pemerintah guna menempatkan seseorang pada jabatan yang sesuai dengan kemampuan, kecakapan dan prestasinya.
"Tentu kita harus mendukung kritikan SBY itu, beliau ingin meritokrasi semakin lebar, semakin mekar di pusat dan di daerah. Bagi saya SBY adalah orang yang setuju meritokrasi, dan itu sistem yang cocok untuk membangun demokrasi," katanya.
Sebelumnya, Presiden BY menyinggung adanya posisi di jajaran pemerintah daerah yang diisi oleh kerabat-kerabatnya sendiri. Hal tersebut merujuk pada Pemda Banten yang hampir pucuk pimpinan daerah diisi oleh kerabat dan keluarganya sendiri. Presiden mengatakan hal tersebut tidaklah patut.
"Meskipun UUD 1945 maupun UU tidak pernah membatasi siapa menjadi apa posisi di pemerintahan, apakah ayah, ibu, anak, adik itu menduduki posisi-posisi di jajaran pemerintahan, tetapi saya kira, kitalah yang mesti memiliki norma batas kepatutan. Yang patut itu seperti apa, yang tidak patut juga seperti apa," kata SBY di Istana Merdeka usai bertemu Perdana Menteri India, Manmohan Singh, Jumat (11/10/2013) silam
Tak hanya menyinggung ketidakpatutan pemerintahan daerah dikuasai oleh keluarga yang sama, Presiden SBY pun mengingatkan bahayanya ketika kekuasaan politik menyangkut dengan kekuasaan untuk melaksanakan bisnis. Menurutnya, potensi godaan dan penyimpangannya bisa sangat besar.
"Kalau melebihi kepatutannya, godaannya datang dan kekuasaan yang ada di satu orang atau keluarga yang kain mengait memiliki kecenderungan untuk disalahgunakan. Bangun kehidupan pemerintahan dan bernegara yang baik. Kalau itu wajar, patut, maka tidak akan membawa keburukan apapun," katanya.
Ia pun meminta agar masyarakat lebih aktif untuk menentukan dan mengawasi kekuasaan pemerintah daerahnya. Terlebih lagi ketika kekuasaan politik itu diiringin dengan kepentingan bisnis.
"Jangan karena UUD tidak melarang, UU tidak melarang, tapi kita yang memilih pilihan yang patut dan pilihan yang bijak," katanya.