TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membantah putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang salah satu poinnya mengatakan dr Dewa Ayu dkk tidak meminta izin keluarga akan mengoperasi Siska.
Ketua IDI, dr Zaenal Abidin mengatakan dr Ayu tidak mungkin lalai memberitahukan akan melakukan operasi termasuk resiko kematian karena itu sudah menjadi protap di setiap rumah sakit.
"Itu tidak mungkin ada suatu operasi besar apalagi oeprasi besar membelah perut. tidak memberitahukan kepada keluarga. Itu tidak mungkin tidak betul. Bahkan operasi kecil pun keluarga harus tahu yang bersangkutan akan dioperasi. Sudah protap yang ada di setiap rumah sakit dan kamar oka (ruang operasi)," ujar Zaenal kepada Tribunnews saat dihubungi, Jakarta, Rabu (27/11/2013).
Zainal bahkan mengaku keluarga Siska berada di rumah sakit dan mengetahui akan ada operasi terhadap Siska.
"Bisa diamuk kalau nggak gitu," lanjut Zaenal.
Zainal juga meragukan pertimbangan Majelis yang mengatakan tanda tangan persetujuan Siska saat hendak melakukan operasi Cito Secsio Sesaria. Zainal merujuk pada putusan Pengadilan Negeri Manado yang mengatakan tanda tangan tersebut benar.
Zainal menambahkan dalam posisi sakit dan sebagainya, tanda tangan orang bisa tidak serupa dengan tanda tangan sebelumnya.
"Itu juga tidak betul. Harusnya kan menguji itu yang di pengadilan negeri. Tetapi pengadilan negeri itu tanda tangan betul dilakukan ketika. Itu tergantung posisi orangnya. Tanda tangan bisa berubah," jelas Zaenal.
Sekedar informasi, berdasarkan salinan putusan nomor 365 K/Pid/2012, dr Ayu dkk saat melakukan Cito Secsio Sesaria tidak memberitahukan resiko operasi tersebut kepada keluarga Siska.
"Bahwa pada saat sebelum operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban dilakukan, Para Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang emungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio Sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban," demikian putusan majelis kasasi seperti dikutip Tribunnews, Jakarta, Rabu (27/11/2013).
Majelis juga mengatakan bahwa tanda tangan korban juga dipalsukan ('Spurious Signature) di dalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh dr. Hendy Siagian (terdakwa III).
Sekedar informasi, saat melakukan operasi tersebut ketiga dokter tersebut sedang menempuh program pendidikan dokter spesialis di Universitas Sam Ratulangi, Manado. Dengan demikian, dapat disimpulkan saat itu ketiga dokter tersebut belum menjadi dokter kandungan.
Para Terdakwa hanya memiliki sertifikat kompetensi tetapi tidak memiliki surat izin praktik (SIP) kedokteran dan tidak terdapat pelimapahan/persetujuan untuk melakukan suatu tindakan kedokteran secara tertulis dari dokter spesialis yang memiliki SIP.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) berdasarkan putusan Nomor 365 K/Pid/ 2012 pada 18 September 2012, MA mengabulkan permohonan kasasi dari Jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Manado dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011.
Dalam putusannya, MA juga menyatakan Para Terdakwa: dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr Hendy Siagian (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana 'perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain'. Ketiga dokter tersebut dijatuhi hukuman pidana penjara masing-masing selama sepuluh bulan.
Mereka sebelumnya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), pascaputusan kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap dari majelis kasasi Mahkamah Agung (MA). Adalah hakim agung Artidjo Alkostar, Dudu Duswara dan Sofyan Sitompul yang menjatuhi para dokter itu vonis bersalah.