TRIBUN, JAKARTA - Intervensi negara dalam pendanaan saksi partai politik yang penyalurannya lewat Badan Pengawas Pemilu mendapat kecaman. Hal tersebut selain akan merusak tatanan demokrasi, juga dapat melanggengkan politik uang dalam bentuk lain.
"Pendanaan saksi oleh negara sama dengan melanggengkan atau membiasakan politik uang dalam bentuk yang lain. Ini akan merusak dan memandulkan fungsi demokrasi yang digalakkan bersama," ujar Wakil Ketua Komisi II, Arif Wibowo di KPU, Jakarta, Kamis (30/1/2014).
Menurut Arif, pada dasarnya politik itu bersifat voluntaristik, atau sukarela. Termasuk menjadi saksi parpol di Tempat Pemungutan Suara. Ketika seorang menjadi saksi, maka ia bekerja untuk mengamankan suara rakyat yang memilih parpolnya, bukan karena dapat bayaran.
"Kalau partai tidak mampu menghadirkan saksi ya tidak perlu dipaksakan. Kalau nanti dibayar, maka akan mendorong banyak orang mau menjadi saksi tapi tidak dalam konteks menjalankan tugas dan fungsi saksi, hanya mencari bayaran," kata Arif.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini khawatir, saksi parpol ditanggung negara, akan menjadi instrumen politik kepentingan politik tertentu. Berdasar pengalaman, penyelenggara pemilu sampai hari ini belum bisa berjalan secara mandiri, dan independen.
Arif mengaku, tidak pernah mengetahui soal pembicaraan dana saksi parpol antara Komisi II dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Bawaslu dan KPU saat itu.
"Selama ini saya memang tidak terlibat untuk urusan itu. Sudah benar sikap yang diambil DPP PDI Perjuangan yang menolak dana untuk saksi parpol. karena pada akhirnya saksi itu tangungg jawab masing-masing partai, sehingga tak lagi jadi beban Negara. Saksi itu partisan," ungkapnya.