TRIBUN, JAKARTA - Menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, muncul lembaga survei dadakan. Banyak dari mereka mengungkapkan hasil persepsi publik terhadap popularitas tokoh-tokoh yang maju dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.
Namun siapa yang tahu, kalau hasil survei mereka ternyata tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena tidak patuh dan ketat menggunakan metodologi sesuai standar universal. Lalu bagaimana jika hasil survei memanipulasi perspektif responden di lapangan.
Ade Armando, mengakui mendapati pegiat survei yang juga peneliti ternyata tidak paham dan memiliki kecakapan memadai untuk melakukan penelitian dengan baik dan benar sesuai kaidah yang berlaku.
"Celakanya, di tangan yang tidak tepat, lembaga survei sebagai sarana bisa menghancurkan demokrasi," ungkap Ade dalam acara diskusi 'Wajah Survei Politik Indonesia' di Media Center KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/3/2014).
Ade menambahkan, kecenderungan untuk mengakali survei terjadi karena perubahan karakter lembaga surveinya. Sebelumnya hanya fokus pada penelitian untuk data objektif, kini bergerak menjadi konsultan politik.
Dalam kondisi demikian, sambung Ade, wajar jika konsultan dan lembaga survei tersebut ada yang menggerakkan segala upaya memenangkan kepentingan kliennya. Bahkan, ada juga yang melakukan rekayasan hasil surveinya.
Ia menegaskan, seharusnya media juga ikut memfilter hasil survei lembaga survei yang tidak berpijak pada metodologi yang benar. Namun, karena begitu saja meyakini hasil surveinya benar, media menaikkannya sebagai berita. "Memang, survei bisa salah tapi tak boleh bohong," tegasnya.
Ade memaparkan temuannya terhadap beberapa lembaga survei yang secara metodologi perlu dipertanyakan lebih jauh. Salahsatunya lembaga survei INES (Indonesia Network Election Survei) yang memenangkan Prabowo Subianto terkait hasil surveinya berapa waktu lalu.
Hasil survei INES menunjukkan Prabowo memiliki elektabilitas teringgi di angka 40,8 persen. Sementara Jokowi yang oleh banyak lembaga survei terunggul secara elektabilitas, dalam survei INES hanya berada di angka 5,6 persen. Ini tidak masuk akal, kata Ade.
Selain INES, Ade mengambil contoh hasil lembaga survei FSI (Focus Survei Indonesia). FSI dalam hasil penelitiannya menempatkan Prabowo di angka 33,6 persen, sementara Jokowi 5,2 persen.