Laporan Wartawan Tribunnews.com Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Musikus cum aktivis buruh migran, Melanie Subono, mengungkapkan fakta baru terkait uang diyat (tebusan) untuk menyelamatkan tenaga kerja Indonesia (TKI) Satinah dari hukum pancung Arab Saudi.
Melanie kepada Tribunnews.com, Senin (24/3/2014), mengatakan Pemerintah RI sendiri lah yang menyebabkan uang diyat Sutinah membengkak menjadi Rp 21 miliar.
"Tahun 2011, saat divonis bersalah, uang diyat yang diminta keluarga majikan Satinah hanya Rp 1,5 miliar. Tapi pemerintah RI tidak menanggapinya. Apalah artinya uang senilai itu, dibandingkan Rp 83 triliun yang disumbang TKI setiap tahun," kata Melanie Subono.
Ia mengungkapkan, ketika masih dalam proses persidangan, tidak ada satu pun perwakilan pemerintah RI yang mau mendampingi Satinah.
"Selama persidangan, Satinah hanya didampingi oleh aktivis Migrant Care. Setelah keluar putusan, sekitar tahun 2012 pemerintah baru ikut mendampingi. Tapi, tetap saja tidak mau membayar Rp 1,5 miliar, malah beli pesawat kepresidenan," ketusnya.
Melanie menuturkan, setelah besaran uang diyat itu membengkak, pemerintah mengirimkan Kepala Satgas Penanganan WNI Maftuh Basyuni untuk negosiasi dengan otoritas Arab Saudi maupun keluarga majikan Satinah.
"Saya tau karena saya yang mendampingi Satinah. Uang diyatnya membengkak jadi Rp 45 miliar. Sekarang turun jadi Rp 21 miliar," tuturnya.
Untuk diketahui, Satinah merupakanTKI asal Ungaran Tengah, Jawa Tengah, yang terancam dipancung di Arab Saudi pada 3 April 2014. Itu kalau pemerintah tidak bisa membayar uang diyat (tebusan) sebesar Rp 21 miliar.
Termutakhir, Pemerintah Indonesia mengaku hanya memiliki uang Rp 18 miliar untuk membayar uang diyat. Karenanya, masih kekurangan Rp 3 miliar untuk membebaskan Satinah dari hukuman pancung.
"Logikanya, kalau bisa beli pesawat, kenapa nebus nyawa satu warganya saja tidak bisa," tandasnya.