News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Jokowi JK

Seri Revolusi Mental (4): Empati Menumbuhkan Optimisme Bangsa

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jokowi ngobrol bareng netizen di Hotel Lumire, Senen, Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2014) malam.

Kemajuan sebuah negara bukan terletak pada kekayaan alamnya.

Indonesia masa kini didera berbagai masalah, baik sosial maupun ekonomi, yang datang bertubi-tubi seakan tanpa henti. Ini diperparah dengan kehadiran negara yang minim. Ini membuat sebagian dari kita menjadi galau, bahkan frustasi. Apa yang bisa dilakukan oleh bangsa ini menghadapi situasi tersebut?

Mari kita melihat ke dalam diri bangsa ini. Indonesia dikenal memiliki kekayaan alam berupa bahan-bahan tambang dan mineral yang begitu banyak dan beragam. Tanahnya yang subur dan berada di iklim tropis membuat kita dianugerahi berbagai macam kekayaan hayati. Keragaman budaya dari berbagai suku di Indonesia pun telah diakui sebagai yang paling kaya di dunia. Namun kekayaan ini belum bisa dikonversi menjadi kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyatnya.

Di sisi lain, negara-negara lain yang tidak memiliki kekayaan alam justru bisa terus maju. Korea Selatan dan Singapura misalnya. Ini mengindikasikan bahwa kemajuan sebuah negara bukan terletak pada kekayaan alamnya. Jika melihat bagaimana kedua negara tersebut membangun dirinya, akan didapati bahwa aspek manusia menjadi penentu. Lebih detail, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor kuncinya.

Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia telah memiliki manusia yang cukup berkualitas? Secara individu, orang Indonesia tidak kalah hebat dibandingkan dengan mereka yang berasal dari bangsa-bangsa yang telah maju. Bahkan, beberapa ilmuwan Indonesia laris manis dikontrak oleh negara-negara tersebut. Sebagai contoh, negara Jepang banyak memperkerjakan pemuda Indonesia untuk menjalankan riset-riset berteknologi tinggi.

Lalu mengapa Indonesia masih terpuruk? Salah satu jawabannya adalah, bangsa ini masih gagap dalam memberdayakan manusia-manusianya. Banyak ilmuwan harus pusing karena kekurangan dana, minimnya fasilitas, dan samarnya arah kebijakan iptek. Orang-orang baik dan pintar harus rela terlempar karena tidak diberikan ruang di dalam organisasi pemerintahan. Pengusaha-pengusaha nasional mesti berjibaku dengan raksasa-raksasa asing yang menyerbu tanpa pandang bulu. Sementara itu, inisiatif-inisiatif warga kian tergerus oleh kebijakan negara yang tidak ambil pusing dengan kepentingan rakyat kecil.

Di titik ini lah bangsa Indonesia harus mereorganisasi dirinya. Merapatkan barisan dan membangun visi bersama.  Tujuannya, agar rakyat berdaya secara kolektif, baik dalam sisi karakter maupun kapasitas pengetahuan dan teknologinya.

Namun perlu diperhatikan pula bahwa manusia-manusia Indonesia sangat beragam. Oleh karena itu, pengorganisasian tersebut harus ditumbuhkan di atas paradigma yang melihat keberagaman sebagai sebuah kekayaan agar kita bisa saling belajar, bukan sebagai ancaman.

Dengan demikian, Indonesia membutuhkan figur pemimpin yang mampu mengorkestrasi dinamika dan irama rakyatnya, bukan menyeragamkan nada yang disukainya. Pemimpin yang mampu merajut bangsa yang kuat dari keragaman kepentingan dan cita-cita rakyatnya. Pemimpin yang pintar mendengarkan dengan suara rakyat penuh empati, sehingga membangkitkan bangsa ini untuk bergerak bersama berbekal rasa saling percaya dan saling peduli. Jika demikian, maka rakyat Indonesia akan yakin dengan kemampuan dirinya, sehingga menumbuhkan harapan dan optimisme yang menjadi bahan bakar bagi kemajuan bangsa. (Ismail Al Anshori, Mahasiswa Program Magister Studi Pembangunan ITB) (Advertorial)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini