"Penyidik harus lebih cermat dalam melihat kasus ini, bukan sekadar melihatnya dari delik pers."
Jakarta - Anggota tim advokasi Joko Widodo-Jusuf Kalla, Taufik Basari kecewa Mabes Polri hanya menjerat pengelola tabloid Obor Rakyat, Setiyardi Budiono dan Darmawan Sepriyossa menggunakan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, yang mengatur tentang pelanggaran badan hukum perusahaan pers.
Berbekal kesimpulan yang sudah dikeluarkan Dewan Pers bahwa Obor Rakyat bukanlah produk jurnalistik, dikatakan Taufik, mestinya penyidik Bareskrim Mabes Polri bisa menggunakan pasal-pasal di undang-undang lain secara lebih luas. "Penyidik harus lebih cermat dalam melihat kasus ini, bukan sekadar melihatnya dari delik pers," kata Taufik Basari melalui sambungan telepon, Jumat 4 Juli 2014.
Menurut Taufik, Polri seharusnya melihat kasus Obor Rakyat dari spektrum yang lebih luas. Dari apa yang ditampilkan oleh tabloid Obor Rakyat, masyarakat disuguhi praktik politik kotor bahwa untuk meraih kemenangan harus dicapai dengan cara-cara fitnah, menebar kebencian dan mengedepankan sentimen suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA).
"Berpolitik dengan cara kotor seperti ini bisa berdampak buruk pada keutuhan bangsa Indonesia. Aspek inilah yang mestinya dilihat oleh Polri. Jika tidak ditindak tegas maka akan semakin banyak orang yang memilih menggunakan cara-cara kotor dalam berpolitik," tegas Taufik Basari.
Untuk menyikapi perkembangan terbaru atas ditetapkannya Setiyardi dan Darmawan Sepriyossa sebagai tersangka dalam kasus tabloid Obor Rakyat, tim advokasi Jokowi-JK akan menyiapkan sejumlah langkah. "Salah satunya, kami akan mempertimbangkan untuk melakukan audiensi dengan pimpinan Polri agar kasus ini tidak berhenti pada penggunaan undang-undang pers," kata Taufik.
Seperti diberitakan Beritasatu.com, Jumat, 3 Juli 2014, Penyidik Pidana Umum Bareskrim Polri akhirnya menetapkan dua pengelola tabloid Obor Rakyat, Setiyardi (pemimpin redaksi) dan Darmawan Sepriyossa (penulis) sebagai tersangka. Akan diperiksa Senin depan, 7 Juli 2014, keduanya disangka dengan menggunakan Pasal 9 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers karena Obor Rakyat tidak memiliki badan hukum.
Bunyi pasal tersebut adalah, “Setiap Perusahaan Pers harus berbentuk badan hukum Indonesia” dan atas pelangaran atas ketentuan tersebut diancam denda paling banyak Rp 100 juta sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana Pasal 18 ayat (3) UU No 40/1999 tentang Pers.
Di samping tidak memiliki badan hukum, penerbitan media cetak seharusnya mengumumkan nama, alamat, alamat percetakan, dan penanggungjawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Semua itu wajib dimuat di dalam masthead redaksi.
Kepada Beritasatu.com, Kabareskrim Komjen Suhardi Alius membenarkan jika dua petinggi Obor Rakyat telah ditetapkan sebagai tersangka dan akan dipanggil Senin besok. ”Benar. Sementara ini memang disangka dengan UU Pers dulu dan masih kita kembangkan. Kalau memakai Pasal 310-311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita masih berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dan kalau memakai UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sudah dinyatakan kadaluarsa oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),” katanya.
Tentang ancaman pelanggaran UU Pers bukan berupa kurungan badan atau penahanan, Suhardi menjawab diplomatis. ”Ya memang sementara ini pakai UU Pers dulu, ya hanya diancam denda. Yang penting kita sudah mampu menjerat keduanya,” kata dia.
Sebelumnya tim advokasi Joko Widodo-Jusuf Kalla telah melaporkan pengelola tabloid Obor Rakyat ke Bareskrim sejak 16 Juni lalu. Taufik Basari dkk menilai, melalui tulisan-tulisannya tabloid Obor Rakyat Setiyardi dan Darmawan diangap melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP tentang penghinaan dan fitnah, Pasal 156 dan 157 KUHP tentang penyebaran kebencian, Pasal 16 UU No.40/1999 tentang kebencian berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, serta Pasal 214 UU 42/2008 terkait pelanggaran larangan kampanye. (skj) (Advertorial)