TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy atau Romy, mengatakan partai berlambang Ka'bah itu tidak akan membuka wacana soal pengalihan dukungan dari Koalisi Merah Putih, yang mengusung pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa.
Kepada wartawan di acara halal bihalal di Kantor DPP PPP, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (18/8/2014), Romy mengatakan sejak awal PPP memutuskan untuk bergabung di Koalisi Merah Putih, PPP sudah berkomitmen untuk tetap mendukung kebijakan koalisi meskipun pasangan Prabowo - Hatta kalah dalam pemilihan presiden (pilpres) 2014.
"Karena sejak awal Koalisi Merah Putih disiapkan untuk stabilitas pemerintahan apabila Prabowo menang, dan menjadi check and balance apabila tidak di pemerintahan," katanya.
Pasangan Joko Widodo (Jokowi) - Jusuf Kalla (JK) pada 23 Juli lalu sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemenang pemilihan presiden (pilpres). Namun kubu Prabowo - Hatta menggugat keputusan KPU tersebut ke Mahkamah Konstitusi, dan keputusan sidangnya akan diumumkan pada 21 Agustus mendatang.
Menjelang pengumuman keputusan MK konflik internal PPP kembali terjadi. Sejumlah kader senior yang menamakan dirinya Forum Peduli PPP yang dipimpin Muhammad Rodja, mengancam akan mendemisionerkan pimpinan PPP jika tidak segera menggelar Muktamar. Mereka bersikukuh partai harus menjalankan amanat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) pada April lalu, yang menginstruksikan Muktamar digelar setelah pilpres.
Mereka juga mempermasalahkan ketua Umum DPP PPP, Suryadharma Ali karena status tersangka kasus digaan korupsi dana haji yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Forum Peduli PPP berharap di Muktamar pengganti SDA bisa ditetapkan. Selain itu mereka juga berharap PPP mengalihkan dukungan ke Jokowi - JK.
Romy menyebutkan bila ternyata pasangan Jokowi - JK yang dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, PPP akan mengambil posisi di luar pemerintahan. Hal itu kata dia sudah pernah dilakukan PPP selama 26 tahun, di saat Indonesia dipimpin Presiden Suharto. Kata dia pengalaman oposisi PPP jauh lebih panjang, ketimbang pengalaman bergabung ke pemerintah yang baru dilakukan selama era reformasi ini.
"Saya ingin menegaskan tidak ada istilah oposisi, dalam sistem presidential kita ingin sebagai penyeimbang dan kekuatan kritis pengontrol pemerintah," tandasnya. (NURMULIA REKSO PURNOMO)