Laporan Wartawan Tribunnews.com, Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan Ketua Pusat Kajian Antipencucian Uang Yunus Husein sebagai ahli dalam perkara dugaan gratifikasi proyek Hambalang dan pencucian uang dengan terdakwa Anas Urbaningrum.
Majelis hakim memberikan Anas kesempatan untuk bertanya kepada ahli. Anas mengawalinya dengan menanyakan apakah penegak hukum wajib, dalam hal ini KPK, mengusut tindak pidana pencucian uang sebelum pidana asalnya terbukti.
"Kalau tidak ada predicate crimes, maka tidak ada TPPU," jawab Yunus dalam keterangannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (28/8/2014).
"Kalau dakwaan hanya diuraikan, namun uraian itu belum terbukti tidak benar, tidak faktual, atau tidak berdasarkan bukti fakta persidangan, bagaimana?" tanya mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu.
"Jadi yang paling penting TPPU kalau ini terbantahkan semua uraian, bukti permulaan aliran uang, kausalitasnya tidak kelihatan, tidak ada link kemari (TPPU, red)," jawab Yunus.
Anas lalu menanyakan jika ada aset atau harta kekayaan yang sesungguhnya punya orang lain atau dibeli atas perintah orang lain, namun digunakan oleh seseorang. Apakah hal tersebut bisa dimasukkan dalam dakwaan TPPU, tanya Anas.
"Yang kemudian jadi pengurusnya adalah staf orang itu berarti orang lain juga, kemudian dibiayai atas biaya yang dikeluarkan atas perintah orang lain juga, bisa tidak itu didakwakan sebagai pencucian uang atas orang lain bukan seseorang itu?" Tanya Anas.
"Seseorang tadi yang bertransaksi atas namanya, dia yang perintah, dia bisa disebut legal owner, link-nya, hubungannya seseroang tadi dengan orang lain harus dibuktikan. Saya ambil contoh kasus Akil, sopirnya itu legal owner, yang ambil manfaat dan menggunakannya adalah Akil. Itu ada hubungan," jawab Yunus.
"Kalau tidak ada hubungan?" tanya Anas lagi.
"Kalau tidak ada hubungan ya tidak bisa," jawab Yunus.
"Kalau tidak bisa diambil manfaat?" lanjut Anas.
"Yang legal owner, orang yang lain tadi pun tidak dapat manfaat, ya tidak bisa didakwakan. Jadi harus ada hubungannya," jawab Yunus lagi.
"Kalau kira-kira?" masih tanya Anas.
"Itu harus dibuktikan dengan standar hukum acara. Tidak bisa kira-kira," tekan Yunus.
Anas melanjutkan. Kali ini pertanyaannya lebih konkret. Dia bertanya adanya aset atau harta milik orang lain, apakah ada kewajiban bagi terdakwa untuk membuktikan aset orang lain tadi. Lalu tanya Anas, apakah hal tersebut ada hubungannya?
"Secara de facto enggak ada. Bisa dilihat dengan ada hubungan kerja, ada perintah, manfaat, atau kah dia ada hubungan khusus. Kalau ada hubungan-hubungan itu ya bisa. Kalau tidak ada ya tidak harus dibuktikan. Kalau ada, dia gate keeper ini," jawab Yunus.
"Berarti kalau ada aset orang lain yang tidak ada hubungan dengan terdakwa, maka (terdakwa) tidak harus buktikan tindak pidana?" Tanya Anas lagi.
"Kalau tidak ada predicate crime tidak ada TPPU. Kalau tidak ada hubungan orang lain dengan terdakwa maka terdakwa tidak perlu buktikan," tegas Yunus.
Jaksa mendakwa Anas menerima uang Rp 116,525 miliar dan 5,2 juta dolar Amerika dari beberapa proyek pemerintah yang menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Ia juga disebut menerima Toyota Harrier nomor polisi B 15 AUD Rp 670 juta dan Toyota Vellfire nomor polisi B 6 AUD Rp 735 juta. Selain itu adalah dana kegiatan survei pemenangan di Kongres Partai Demokrat sebesar Rp 478.632.230.