TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menolak tunututan Jaksa KPK soal pencabutan hak politik terdakwa Gubernur nonaktif Banten Ratu Atut Chosiyah.
Penolakan atas pencabutan hak itu disampaikan majelis hakim ketika membacakan vonis perkara dugaan suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Lebak, Banten, di mana Atut menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (1/9/2014).
"Menimbang dalam perkara terdakwa Ratu Atut Chosiyah tidak didakwa dengan Pasal 18 UU Nomor 31/1999. Oleh karenanya terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud Pasal 18," kata Anggota Majelis Hakim Sutio Jumagi mengurai pertimbangan putusan Ratu Atut.
Menurut Majelis hakim, terdakwa telah dinyatakan secara terbukti bersalah melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana empat tahun penjara. Karena itu, dengan sendirinya ada hukuman moral masyarakat atas statusnya tersebut.
"Belum lagi masih proses perkara korupsi lain sehingga dengan sendirinya akan terseleksi secara alamiah di masyarakat," kata hakim.
Masyarakat juga dianggap sudah dapat membedakan rekam jejak tokoh politik yang akan dipilih sebagai pemimpin sehingga tidak perlu sampai pencabutan hak politik.
"Masyarakat Banten sudah cerdas dalam menilai seseorang untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik dan dengan sendirinya bagi orang akan tereleminir sendiri sekalipun hak-hak tidak dicabut hak tertentu seperti tuntutan penuntut umum," kata hakim.