TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA – Optimalisasi BUMN harus dikedepankan untuk mengatasi permasalahan sempitnya ruang fiskal guna pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Termasuk, infrastruktur transportasi publik. Itulah benang merah yang muncul dalam seminar bulanan gelaran Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM), di Yogyakarta, Senin (1/9/2014) siang.
Kali ini, seminar bulanan yang digelar bekerja sama dengan Forum Ilmuwan Indonesia dan Seknas Jokowi, mengangkat tema ”Infrastruktur, Transportasi Publik, dan Perumahan Rakyat”.
Menurut Kepala Pustral UGM Danang Parikesit, pemerintah Jokowi - JK akan memiliki dilema terkait pembiayaan infrastruktur, termasuk infrastruktur transportasi publik. Kebutuhan untuk tumbuh dan mandiri secara ekonomi membutuhkan peningkatan investasi 10-15 persen dari tingkat saat ini.
"Padahal, RAPBN 2015 sangat terbatas mengakomodasi kebutuhan ini. Ini karena beban subsidi pembangunan BBM dan listrik kita yang besar, sementara postur APBN sendiri tidak memiliki pemihakan terhadap visi misi pembangunan nasional," jelas Danang.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, lanjut Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini, pemerintahan Jokowi-JK diharapkan juga mampu mengembalikan ”khittah” BUMN sebagai agen pembangunan infrastruktur strategis.
"Hitungan saya, BUMN kita masih memiliki kapasitas investasi sebesar Rp 100 triliun," tegasnya.
Angka sebesar itu, lanjut Danang, dapat memenuhi kebutuhan pembangunan dan perbaikan pelabuhan-pelabuhan besar untuk mendukung konsep tol laut yang digagas oleh Jokowi.
Selain itu, biaya sebesar itu bisa digerakkan untuk membangun jaringan KA antar kota baru, maupun program-program KA perkotaan.
"Tentu saja, skema penugasan ini memerlukan orientasi baru menilai keberhasilan BUMN infrastruktur, serta tetap memberikan peran pada swasta untuk investasi infrastruktur," ujarnya.
Mengutip studi Bappenas, Danang memperlihatkan bahwa ICOR Indonesia (Incremental Capital Output Ratio) adalah 5,12. Angka ICOR menunjukkan persentase perubahan belanja modal termasuk infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi.
ICOR Indonesia masih lebih tinggi dibanding Rusia, Cina, Brasil dan India – negara-negara yang secara penduduk dan kondisi ekonominya setara.
Danang Parikesit menilai, ICOR tinggi ini terjadi karena investasi infrastruktur di Indonesia kurang tepat sasaran. Misalnya, jalan dibangun tidak di tempat yang dibutuhkan, pelabuhan-pelabuhan dibangun tidak ada kapal yang sandar, waduk dibangun dan tidak dimanfaatkan.
"Tingginya angka ICOR juga menunjukkan kemungkinan efisiensi, mark-up, maupun korupsi di belanja publik,” guru besar transportasi UGM ini menegaskan.
Dalam seminar, juga berkembang usulan agar transportasi publik untuk di daerah perdesaan dan perdalaman harus muncul secara eksplisit dalam program pembangunan.
Pemanfaatan dana desa untuk mendorong pembangunan perdesaan melalui pembiayaan angkutan perdesaan dapat menjadi pilihan kebijakan. Migrasi penduduk kota terdidik dari kota ke desa secara terprogram juga dipercaya bisa menjadi katalis bagi pembangunan perdesaan.