TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Negara Pengawas Publik Ombudsman ingin menjalankan kewenangannya secara efektif, terutama dalam memanggil pejabat dari instansi pelayanan publik yang dilaporkan masyarakat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 pasal 31 dan 44 menjadi landasan Ombudsman bisa melakukan upaya paksa menghadirkan terlapor sekaligus ancaman hukumannya bila tidak memenuhi panggilan.
Pasal 31 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 menjelaskan bila seseorang telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa.
Sementara dalam pasal 44 dijelaskan setiap orang yang menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan dapat dikenakan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
"Kewenangan tidak bisa berjalan baik bila tidak ada bantuan polisi. Bila terlapornya ngeyel ini sulit sehingga harus didampingi polisi," ujar Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dalam sambutannya seusai menandatangani nota kesepahaman dengan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman di Gedung Ombudsman, Jakarta Selatan, Selasa (9/9/2014).
Menyikapi hal tersebut, Kapolri Jenderal Pol Sutarman mengungkapkan pihaknya siap memberikan bantuan teknis bila ada saksi atau terlapor yang mangkir dari panggilan Ombudsman. Apalagi aturannya jelas orang yang menghalangi proses penyelidikan yang dilakukan Ombudsman maka bisa dikenakan hukuman penjara maksimal dua tahun dan denda Rp 1 miliar.
"Bila ada ancaman pidananya maka tugas Polri untuk melakukan penyidikan. Bila mengacu terhadap Undang-undang KUHAP jelas setiap ada ancaman pidanya harus ada polri," ujarnya.
Namun, Polri tidak mau dalam melakukan penegakan hukum justru melanggar aturan yang ada. Penangkapan dikatakan Sutarman hanya bisa dilakukan dalam rangka upaya penyidikan.
"Kalau memang saat akan menghadirkan saksi atau terlapor ada perlawanan sehingga menimbulkan masalah, kita dampangi," ujarnya.