Panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan 11 orang kandidat. Siapa saja mereka? Empat dari 11 kandidat tersebut memaparkan persiapannya menjadi pimpinan KPK kepada Tribun.
BERDISKUSI dengan para redaktur di kantornya adalah salah satu cara bagi Ahmad Taufik, jurnalis Tempo, untuk menam.bah pengetahuan tentang pemberantasan korupsi. Diskusi tersebut bukanlah acara formal. Hanya duduk bersama di teras kantor sambil menyeruput kopi panas.
Ahmad juga membaca buku-buku sebagai tambahan referensi. Di antaranya buku-buku World Bank terkait kebebasan pers dan pemberantasan korupsi.
Juga buku-buku yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun lembaga-lembaga mitranya. Ahmad betah membaca hingga subuh.
Buku-buku bertema pemberantasan korupsi bukanlah barang baru. Jauh sebelum mengikuti seleksi komisioner KPK, Ahmad Taufik sudah sering membacanya sehingga memiliki pemahaman tentang pemberantasan korupsi.
"Dulu saya sering dapat buku-buku itu, jadi sekarang saya baca kembali. Cuma nambah-nambah baca, mungkin ada pengetahuan-pengetahuan yang selama ini saya tidak tahu. Sebetulnya semua sudah ada dalam pikiran," kata Ahmad saat ditemui Tribun di sebuah minimarket 24 jam di Jakarta Selatan, Selasa (16/9/2014) malam.
Ahmad adalah saksi sejarah berdirinya KPK pada tahun 2003. Saat itu, ia menjalankan tugas jurnalistik dan meliput kelahiran KPK. "Saya tahu tahu betul KPK lahir karena ada tekanan masyarakat sipil," kata pria kelahiran Jakarta 12 Juli 1965 itu.
Pada perkembangannya, KPK semakin "menggemaskan". Menurutnya lembaga antikorupsi ini sudah benar-benar menunjukan tajinya dan berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi.
Namun, Ahmad menambahkan, masih ada kepala daerah, pejabat daerah, bahkan menteri yang korup hingga menjadi tersangka kasus korupsi. Kondisi tersebut membuat Ahmad geregetan sehingga ia bertekad untuk menceburkan diri ke KPK dan turun tangan membasmi korupsi.
"Saya gemes karena masih ada saja menteri yang ditangkap. Saya tidak bisa diam, saya harus turun," ungkap lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung tahun 1990 tersebut.
Menurut Ahmad, ada dua strategi utama untuk memberantas korupsi yaitu pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Pencegahan adalah upaya menggerakan masyarakat agar menutup celah korupsi. Misalnya meminta masyarakat supaya tidak tidak menyuap kepada pejabat dan tidak menerima gratifikasi.
Mekanisme pencegahan juga harus dihidupkan di tingkat aparat termasuk polisi, jaksa, dan hakim. "Itu yang paling penting," ujarnya.
Ahmad berpendapat, KPK jangan sampai meninggalkan polisi, jaksa, dan hakim. Pada dasarnya, tutur Ahmad, KPK dibentuk sebagai lembaga ad hoc karena ketiga lembaga penegak hukum tersebut dinilai telah rusak karena banyak oknum yang terjerat tindak pidana korupsi.
KPK juga harus menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas dan transparansi. Karena itu, imbuh Ahmad, KPK pun harus transparan dalam penggunaan anggaran.
Ahmad menangkap kesan, saat ini, ada jarak antara masyarakat sipil, terutama dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang dulu termasuk dalam barisan pengusul pendirian KPK. Padahal, KPK dan masyarakat sipil harus sinkron.